Laksa sudah pernah dihadapkan pada hari-hari panjang yang terasa begitu melelahkan. Seperti saat ia harus menerima kenyataan bahwa kondisi fisiknya tak sekuat orang-orang. Saat ia ditolak oleh ibu kandungnya sendiri bahkan ketika ia hanya baru menyebut nama wanita itu melalui panggilan dari sebuah telepon genggam. Saat Ayah mengatakan bahwa ia ternyata bukan darah daging lelaki itu, juga saat ia akhirnya diberitahu tentang keluarga Maheswara.
Namun, yang paling menyakitkan dari itu semua adalah saat ia tahu bahwa keluarga itu tak membutuhkannya. Bahwa mereka bahkan tidak pernah tahu ia ada. Dari sana, Laksa tidak pernah berharap kebenaran tentangnya terbuka. Terlebih setelah ia tahu bahwa kelemahan keluarga itu ada di Gara. Maka selama ini ia diam, berusaha menyimpan keluhnya dalam-dalam. Mencoba mengubur egonya yang menjerit saat Gara bisa mendapatkan segalanya sedangkan di sinia ia dibuang.
Melalui cerita Ayah, Laksa tahu bahwa kehadirannya di keluarga itu mungkin akan merusak banyak hal. Maka sebanyak apa pun ia harus terluka di tempat ini, masih jauh lebih baik daripada ia melukai orang lain. Akan tetapi, hari ini, semesta kembali membuktikan bahwa di antara mereka memang tidak pernah ada istilah sekata. Hari yang Laksa takutkan pada akhirnya datang juga.
Gara mengetahui segalanya, dan sekarang anak itu terluka. Laksa yang melukainya.
"Tok tok tok, Ayah pulaaaaang! Anybody home? Nggak ada? Oh, yaudah Ayah masuk sendiri aja."
Suara teriakan Ayah dari pintu depan terdengar, tetapi tidak membuat Laksa bangkit dari posisinya. Anak itu masih berjongkok di lantai, memunguti pecahan kaca pigura yang berserakan, tidak lagi peduli pada jari-jarinya yang tergores dan mengeluarkan darah.
Selama ini, Laksa menyimpan foto Raja sebaik yang ia bisa. Karena hanya itu satu-satunya pengingat bahwa di luar sana, ia juga masih punya keluarga. Lalu saat benda itu yang membingkai sosok itu kini tak lagi sempurna, Laksa merasa hatinya juga ikut jatuh bersamanya. Hancur, tak lagi utuh.
Sampai akhirnya suara Ayah terdengar tepat dari pintu kamarnya yang terbuka.
"Eh assalamualaikum, Laksa nungguin Ayah gak?"
Ayah masih secerah biasanya dan seharusnya Laksa merasa lega. Namun, badai yang sempat menghantam rumah itu ternyata lebih dahsyat dari yang ia kira. Laksa tidak bisa berdusta untuk mengatakan dirinya baik-baik saja. Ia sudah mencoba diam sejak Gara berlari meninggalkan rumahnya dengan perasaan terluka, dan sekarang, saat ia akhirnya melihat Ayah, ia tidak bisa lagi menahan semua.
Di detik yang sama Ayah segera maju, dengan tergesa-gesa menghampirinya.
"Ya Tuhan! Kamu ngapain, sih? Tangan kamu luka gini kenapa dibiarin aja?" Ayah tampak panik, seperti bagaimana ia biasanya. Ayah adalah Ayah yang benci ia terluka. Tapi sekarang bahkan ia punya luka yang lebih parah, yang lebih sakit, yang lebih perih.
"Ayah," panggil Laksa pelan. Suaranya bergetar.
Ia tidak peduli pada jari-jarinya yang tergores. Ia juga tidak peduli saat Ayah menyambar tisu dari meja dan mengusap darahnya. Karena sekarang seperti ada serpihan kaca tak kasatmata yang merobek-robek dadanya. Menusuk, lalu menancap tepat jantungnya. Sakit sekali sampai ia tidak mampu mengatakan apa-apa.
"Apa yang terjadi, Nak? Apa yang kamu lakuin selama Ayah nggak ada?" Tatapan Ayah masih khawatir. Lelaki itu tak berhenti meniupi luka di jari Laksa hingga kering.
"Gara ... dia tahu semuanya, Yah. Aku yang kasih tahu dia. Maafin aku. Harusnya aku bisa jaga perasaan dia dan nggak bikin dia tahu dengan cara kayak gini."
Tetapi reaksi Ayah justru berbanding terbalik dengan yang Laksa perkirakan. Lelaki itu mengambil napas dalam-dalam dan membuangnya kasar. Sebelum ia menatap lagi tepat ke kedua bola mata Laksa yang sekarang tampak seperti kaca dengan retakan panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
Novela JuvenilHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...