Akan selalu ada alasan dari setiap kejadian. Sama seperti bagaimana siang ini Gara ditinggal sendirian karena Raja yang pergi lebih dulu untuk suatu urusan. Atau seperti bagaimana langit mendatangkan hujan setelah sejak pagi hanya membekap dengan mendung tebal.
Tetapi sekarang semesta seolah menempatkan segalanya terlalu kebetulan. Semua yang ia butuhkan tiba-tiba menghilang sedang yang tidak ia harapkan justru datang. Dan seharusnya Gara paham bahwa kebetulan seperti ini tidak mungkin tanpa perencanaan.
Semesta telah mengatur segalanya di atas lembar kertas yang ia beri nama kehidupan.
"Mas Gara tolong tunggunya di dalam saja, ya. Cari tempat nyaman. Pokoknya jangan keluar sebelum saya datang. Saya usahain cepat sampai situ."
Dua menit lalu, ponsel Gara yang semula tenang tiba-tiba menjerit dengan lantang. Nama Pak Adi mencuat di layar dan setelahnya suara lelaki itu terdengar samar-samar di antara hujan. Katanya, ada korban tabrak lari di jalan yang butuh pertolongan. Maka lelaki itu mengantar si korban ke rumah sakit bersama beberapa warga yang saat itu ada di lokasi kejadian.
Sekarang Gara tertahan di sini sendirian. Tetapi ia juga tidak ingin egois dengan memaksa Pak Adi cepat datang. Bagaimanapun, lelaki itu sedang berusaha menyelamatkan nyawa seseorang. Gara tidak ingin, demi dirinya, akan ada lagi nyawa yang hilang.
Untuk itu ia menghela napas panjang dan mengusap lengan bawahnya yang telanjang. Berusaha menghalau dingin yang merobek kulitnya dan menusuk sampai ke tulang.
"Nggak apa-apa, Bapak urus dulu semuanya. Nggak usah pikirin aku. Aku bisa urus diriku sendiri," ucap Gara kemudian.
"Nggak, Mas. Kalau Ibu tau saya ninggalin Mas Gara sendirian di sekolah, Ibu pasti marah. Pokoknya saya bakal usaha gimanapun caranya supaya bisa cepat jemput Mas. Di sini ada warga yang ikut, jadi kalau saya tinggal kayaknya nggak apa-apa."
"Nggak usah. Udah Pak Adi di situ aja. Urus semuanya sampai beres."
"Mas, Tapi-"
"Udah, dong, Pak! Bapak nurut aja kenapa, sih? Kalau Bapak udah niat nolong orang, jangan setengah-setengah!" Gara bisa menangkap helaan napas berat Pak Adi di seberang setelah kalimatnya ia penggal. Sedang ia sendiri diam dan mengambil jeda sebentar.
Gara tidak tahu perasaan kosong ini berasal dari mana. Ia juga tidak tahu linu yang menyayat-nyayat ini muncul karena apa. Ia merasakan panas membakar di kedua mata dan satu yang berhasil ia tangkap di kepala adalah bagaimana ingatan kelam itu menyiksa dengan begitu tiba-tiba.
Hujan. Sepeda motor yang tergelincir. Mobil yang terpelanting. Pecahan kaca. Juga darah di mana-mana. Terakhir, Papa yang kehilangan napas, tepat di pelukannya.
Ingatan itu menyiksa Gara. Sebelum akhirnya ia kembali membuka suara.
"Pastiin orang itu selamat dan hidup. Jangan sampai ada nyawa lain yang hilang cuma demi aku."
Setelahnya ia menutup panggilan begitu saja dan menggenggam erat-erat ponselnya. Udara di sekitar kini seperti berubah menjadi ribuan duri yang menusuki dada Gara dan menancap tepat di jantungnya. Tidak berdarah, tetapi sakitnya luar biasa.
Cowok itu memejam sebentar, berusaha menata kembali hatinya yang berantakan. Ingatan tentang Papa masih menjadi kelemahan terbesar yang hanya akan ia simpan. Yang diam-diam akan ia kenang lagi ketika rindu membuatnya setengah mati kepayahan.
Saat cowok itu sedang mencoba mengusir linu di dadanya, ada langkah lain dari sepasang sepatu lusuh yang berhenti di sana. Tepat di sisi Gara. Anak itu tidak bersuara, tetapi hanya dengan melirik sepatu yang tali sebelah kirinya tidak terikat sempurna, Gara tahu itu Laksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
Teen FictionHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...