Laksa selalu menyukai sore lebih dari waktu yang lainnya. Ia suka bagaimana terik berganti menjadi teduh yang sempurna. Ia suka bagaimana jingga membakar langit hingga berwarna. Ia juga suka bagaimana ramai mengisi di sepanjang trotoar dengan lampu-lampu yang mulai menyala. Rasanya seperti ia tidak sendirian di sana.
Cowok itu melangkah ringan dengan dua bungkus makanan yang ia bawa menggunakan plastik berwarna hitam. Sembari mengunyah permen karet yang sesekali ia tiup membentuk gelembung besar. Cowok itu sedang dalam perjalanan pulang dan seperti biasa, ia akan berhenti sebentar ketika melewati tanah lapang di sisi kiri jalan. Tempat di mana anak-anak seusianya bermain sepak bola dengan jerit keras peluit yang melebur bersama teriakan.
"Wah, lagi rame nih kayaknya," gumamnya saat melihat pemain dari kedua tim saling berebut bola. Ia mendekat, tetapi tidak sampai menyentuh rumput hijau lapangan. Hanya berhenti di trotoar dan mengamati dari kejauhan.
"Maju lagi, maju lagi! Terus! Passing kiri! Iya, kayak gitu. Woy itu winger kanan majuan dikit, jauh banget elah kayak lagi LDR-an. Agak rapet dong biar enak komunikasi. Nah, tuh, kan .... ditikung. Nggak kompak, sih."
Cowok itu heboh sendiri dari tempatnya berdiri. Tidak peduli pada tatap orang-orang yang lewat di belakang atau bahkan beberapa pemain yang sepertinya merasa tak nyaman. Laksa hanya tersenyum sembari mengangkat kepalan tangannya ke udara, seolah meneriakkan kata 'semangat' tanpa suara.
Permainan pun berlanjut dan cowok itu kembali melakukan hal yang sama. Berkomentar layaknya Jose Mourinho ketika mengasuh anak-anak didiknya. Mengumpat ketika bola yang seharusnya masuk ke gawang justru jatuh ke pelukan kipernya. Ikut bersorak ketika ada tim yang berhasil mencetak gol dengan sempurna.
Sampai kemudian peluit panjang berbunyi dan permaian pun diakhiri. Laksa sudah berniat pergi, tetapi tertahan oleh seorang anak laki-laki yang berjalan menghampiri.
"Siapa nama lo?"
Laksa tersentak. Sejenak ia menoleh ke kanan-kiri, sebelum akhirnya menunjuk dirinya sendiri.
"Ngomong sama gue?"
"Iya. Gue sering lihat lo di sini. Teriak-teriak nggak jelas dari pinggir. Sok nasihatin kita-kita main. Gue jadi penasaran, kalau emang lo ngerasa sejago itu, kenapa nggak ikut main?"
"Lho emang boleh? Gue pikir cuma anak-anak yang udah join di club doang yang boleh tanding di sini."
"Emang iya. Tapi kalau lo mau, kita bisa masukin. Toh, cuma buat latihan, bukan pertandingan resmi."
Laksa tampak berpikir sembari mengunyah permen karetnya. Lalu ia menatap lagi sisa-sisa euforia di tengah lapangan sana. Penawaran ini menarik tetapi ia tidak bisa terima.
"Seru, sih, kayaknya main di sini. Tapi enggak, deh. Makasih." Laksa sudah hampir berbalik saat suara anak tadi menahannya sekali lagi.
"Kenapa? Nggak ada skill? Cuma jago teriak-teriak doang dari pinggir?"
Wah, ini namanya penghinaan! Laksa merasa harga dirinya dijatuhkan. Walaupun ia tahu harga dirinya bahkan tidak lebih tinggi dari tiang gawang, tetap saja ini namanya pelecehan terhadap bakat yang selama ini hanya ia pendam.
Cowok itu menarik napas dalam kemudian menarik satu garis senyuman.
"Sorry aja, nih. Tapi gue nggak main sama anak-anak club yang levelnya cuma tarkam doang. Kasihan skill gue. Level gue pelatnas, cuy!" Cowok itu menaik-turunkan alis bangga kemudian meniup lagi permen karetnya. Pipinya menggembung bersama dengan gelembung permen yang membesar untuk kemudian kempes saat gelembungnya meletus begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
Ficção AdolescenteHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...