Amarah Mama tidak pernah menerima bantahan. Tidak pernah ada air yang cukup untuk mengguyurnya hingga padam. Seluruh kalimat wanita itu adalah benar yang tidak pernah membutuhkan jawaban dan keputusannya tidak akan menerima sangkal.
Untuk itu, Gara hanya diam. Mendengarkan setiap tutur Mama yang tanpa wanita itu sadari justru menggores luka lebih dalam. Tidak ada pembelaan, karena Gara tahu suaranya tidak akan didengar. Mama, tidak pernah menerima sanggahan untuk apa yang dia rasa benar.
"Kamu bener-bener bikin Mama kecewa, Gara. Mama kasih kepercayaan ke kamu, karena Mama pikir kamu bisa jaga kepercayaan Mama. Tapi sekarang kamu kayak gini. Kenapa, sih, sayang? Sebelum kamu bergaul sama anak itu, semua baik-baik aja. Tapi semenjak kamu mulai temenan sama dia, kamu jadi sering ngelawan Mama. Sekarang bahkan kamu jatuhin kepercayaan yang udah Mama kasih buat kamu."
Dunia ini penuh dengan kejutan-kejutan yang tidak pernah mampu Gara duga. Penuh rumus kebalikan yang tidak pernah ia kira sebelumnya. Lucu. Saat ia justru mulai belajar memahami makna hidup berkat Laksa, saat ia mulai membuka mata tentang luka yang ternyata jauh lebih pedih daripada miliknya, Mama justru menganggapnya sebagai dosa. Sedangkan kehidupan yang selama ini wanita itu berikan, di mana ia hanya mengenak kata sempurna dan serba ada, justru membuatnya setengah mati tersiksa.
"Kepercayaan kayak gimana yang Mama omongin? Aku bahkan nggak bisa bedain kapan Mama percaya sama aku, dan kapan Mama cuma maksain kehendak Mama dengan alasan buat kebaikanku. Karena rasanya sama aja. Nggak ada beda." Untuk pertama kali setelah ia memendam suaranya cukup lama, Gara akhirnya berani bicara.
Tidak ada penekanan. Tidak ada amarah yang berusaha anak itu luapkan. Gara hanya menggumamkannya sepelan bisikan dan dengan mata yang masih merekam trotoar. Menatap langkah-langkah tegas yang sekarang membuatnya sadar bahwa apa yang ia lihat belum tentu benar. Bahwa mereka yang terlihat baik-baik saja di luar pun bisa jadi retak di dalam. Dan mereka yang selalu diam bukan berarti tidak kesakitan.
Orang-orang yang ia lihat di sepanjang trotoar itu, yang tampak begitu tenang, tanpa beban, bisa saja memyimpan keluh tentang betapa berat jalan yang harus mereka takhlukkan. Betapa sulit pekerjaan yang harus mereka selesaikan untuk mendapat uang. Sederhananya, Gara sekarang paham bahwa di dunia ini bukan hanya ia yang kesakitan. Bukan hanya ia yang merasa diperlakukan tidak adil oleh kehidupan.
Semua ini ... karena Laksa.
"Lihat, kamu bahkan berani ngomong gitu sama Mama sekarang. Pasti anak itu yang ngajarin kamu buat jadi kurang ajar. Kan Mama udah bilang, dia itu bukan orang yang baik untuk kamu ajak berteman. Dia pasti bawa pengaru buruk buat kamu dan sekarang terbukti, kan?"
"Justru dia yang kasih tau aku tentang hal-hal yang nggak pernah Mama ajarin ke aku."
"Iya, termasuk cara buat ngejawab terus omongan orang tua. Mama ini khawatir sama kamu, Gara. Mama nggak mau kamu salah bergaul. Lebih dari itu, Mama nggak mau kamu kena masalah karena dia. Mama nggak mau kamu kenapa-napa."
"Stop salahin orang lain, Ma! Ini semua kemauan aku. Aku yang mau bolos, aku yang mau ngikutin dia ke sini. Kalau Mama mau marah, marahin aja aku, tapi jangan salah-salahin orang yang nggak seharusnya jadi pelampiasan amarah Mama!"
"Ya tapi kenapa? Kenapa tiba-tiba kamu kayak gini? Bisa kamu jelasin ke Mama kenapa kamu seenaknya bolos kelas dan bahkan nyuruh Pak Adi buat tutup mulut dari Mama?"
"Karena Mama nggak pernah kasih aku kesempatan buat lakuin apa yang mau aku lakuin! Mama nggak pernah minta persetujuanku dalam hal apa pun. Mama juga nggak pernah tanya apa aku suka atau enggak saat Mama mutusin sesuatu. Aku cuma pengen tau rasanya hidup normal, Ma." Suara Gara memelan, pandangannya kini tertuju pada wajah Mama yang tak lagi tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Senja Tenggelam
Novela JuvenilHari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin menjerit kepada lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan kota.... Lembar pertama kisah kita te...