1. Tentang Kita

1K 74 37
                                    

'Plak'.

Tamparan itu membuat pipinya memerah seketika. Tapi ia diam, tak berniat membalasnya. Hanya meringis pelan dan memegangi pipi kirinya. Kemudian, sang ayah mendorong tubuhnya hingga ia terduduk dan tembok keras itu membentur kepalanya.

"Hah bikin emosi Ayah naik aja kamu. Ayah capek, Vi. Apalagi liat kamu di sini," ujar Rendi jengah.

Itulah Rendi Januarta, seorang ayah yang hanya ingin satu anak sebagai pewarisnya, tapi ia mendapatkan dua. Bukankah itu anugerah yang harus disyukuri? Tidak, bahkan Rendi membenci bungsunya setengah mati.

"Maaf, Yah."

Alghavi Janu Atmaja, dan bagi ayahnya, hadirnya tidaklah berarti. Pukulan dan tamparan sering didapatnya dari Rendi, ayahnya sendiri. Terutama di sore hari. Saat Rendi lelah, Ghavi adalah pelampiasan yang harus siap diapa-apakan.

"Ayah benci suara kamu." Rendi berteriak lalu menendangi putranya itu.

Ghavi hanya diam, meringis tanpa melawan saat ayahnya terus menendanginya dengan kejam.

"Anak nggak berguna seperti kamu pantasnya mati aja. Ayah ingin bunuh kamu sekarang juga," ucap Rendi kasar.

Suara Rendi keras, terdengar hingga lantai atas. Membuat seseorang berlari menuruni tangga. Dengan ekspresi khawatir seperti biasa, ia turun, mendekati Ghavi dan berjongkok di hadapannya.

"Ghavi, lo nggak papa?"

Dialah Alghava Janu Atmaji. Bagi Ghavi, kakak kembarnya itu adalah pahlawan pribadinya. Yang akan melakukan apa saja untuknya.

"Ghava, harusnya kamu belajar. Ngapain di sini?" Rendi kembali berteriak.

"Ihh, Ayah kalo lagi capek pasti gitu deh. Kalo nggak mukulin Ghavi, pasti ya marahin Ghava. Mending Ayah minta kopi sama Mbok Mimi, terus istirahat di kamar aja," saran Ghava.

"Berani-beraninya kamu sekarang ya." Rendi makin meninggikan suaranya.

"Maaf, Yah, lagi nggak pengen debat. Mana yang sakit, Vi? Kita naik ke kamar ya," ajak Ghava lembut.

Sementara kedua anaknya menaiki tangga, Rendi menghela napas berat. Ia benar-benar sedang lelah, butuh ke kamar untuk beristirahat.

Di kamar, Ghava sedang mengompres pipi Ghavi dengan handuk kecil yang telah dicelup ke air es. Rasa dingin itu membuat pipi Ghavi terasa lebih baik dari sebelumnya.

"Sakit kan ya? Kan udah gue bilang, jangan gangguin ayah pas ayah capek. Tadi lo ngapain kok bisa sampe ditampar gini?"

Suara Ghava yang cerewet selalu menjadi nada favorit bagi Ghavi. Seperti melodi indah yang selalu menemani harinya yang sepi. Ghavi pun tersenyum menanggapi.

"Gue nggak ngapa-ngapain kok, Va. Cuman liatin foto bunda yang di ruang tamu, terus tiba-tiba ayah dateng."

"Kenapa lo selalu diem aja sih pas dipukulin? Seneng banget ya kalo disiksa?"

Bukan seperti itu. Bagaimanapun Ghavi bukanlah orang penting yang pasti didengar saat bersuara. Ayahnya bahkan membenci suaranya. Lalu ia bisa apa?

"Terus gue harus apa? Mau lari juga nggak sempet tadi," respon Ghava.

Keduanya terdiam, membiarkan hening mengisi ruangan. Ghava yang fokus mengompres pipi kembarannya, dan Ghavi yang menikmati dingin kompresnya. Dingin, tapi ada hangat dari tersalurkan ke hatinya. Menyingkirkan sakit apapun yang ia rasa.

Bagi Ghavi, Ghava adalah simbol nyata dari kasih sayang. Satu-satunya orang yang menyayanginya dengan penuh ketulusan. Hanya dia, setelah bunda meninggal, hanya Ghava yang selalu ada untuknya.

Separuh JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang