5. Pengemis Rasa

271 40 22
                                    

Ghavi menatap kagum pada sosok Ghava yang beraksi dengan peralatan perdapuran. Tangan itu bergerak lincah membolak-balik nasi dalam wajan. Juga raut Ghava yang tampak bahagia terhias senyuman.

"Vi, gue jadi chef cocok nggak?"

"Cocok banget," jawab Ghavi.

Tentang impian, bermain di dapur adalah yang Ghava inginkan. Tapi sayang, ayahnya ingin menjadikannya pewaris perusahaan. Padahal nyatanya, kedua anak Rendi merasa tidak cocok dengan perkantoran.

Ghavi masih termenung, merekam gerak spatula yang seakan menari dengan anggun. Namun, pertunjukan tari itu tak lagi berlangsung. Ghava pun mematikan kompornya. Spatula itu ditinggalkannya, mengambil sendok, lalu menyendok masakannya. Ghava pun meniupnya.

Keren sekali, Ghava benar-benar seperti chef terkenal yang pantas masuk televisi.

"Lo yang pertama coba." Ghava menyodorkan sendok itu ke depan mulut Ghavi.

Terkejut, Ghavi menegang, membawa wajahnya mundur ke belakang. Disuapi? Baginya itu cukup memalukan.

"Gu-gue kan bisa makan sendiri," ucapnya gugup.

Ghava terkekeh melihat Ghavi dengan sikap malu-malunya. Ia tau, Ghavi pasti juga ingin disuapi olehnya.

"Ih, gue pengen nyuapin lo, Vi. Kan lo adek gue. Sesekali deh lo manja ke Abang. Udah nih makan, Adek katanya laper."

Melihat Ghavi yang menerima suapannya, Ghava tersenyum sekilas. Meski hatinya merenungi diri tentang rasa yang tak terbalas. Tapi ia akan berjuang lebih keras, dengan melimpahkan kasih sayang tanpa batas. Memanjakan Ghavi juga kadang membuat tenaganya agak terkuras, tapi bagaimanapun ia harus ikhlas, berdoa semoga ada rasa yang cepat terbalas.

"Gue bukan adeknya Ghava. Gue nggak mau dipanggil kek gitu," kata Ghavi.

"Gapapa kalik, biar so sweet gitu. Gue tuh suka banget manjain Lo, Vi. Pengen banget dipanggil Abang atau Kakak gitu."

Ngode sekeras ini, masih aja pura-pura nggak peka.

Ghavi mengabaikan nada indah Ghava. Memilih berdiri, lalu mencari sendok sendiri. Tapi Ghava lagi-lagi mengganggunya, menjadi tembok penghalang antara ia dan rak sendok tujuannya.

"Gue laper, Va." Suara Ghavi melirih.

Kembarannya tersenyum lebar, menarik lengannya, lalu mendudukkannya di kursi yang nyaman. Ghava kembali ke wajan, menyendok nasi goreng, lalu ia makan. Lima detik berselang, ia menyodorkan kepada Ghavi sendok berisi makanan.

"Iya makan, tapi Kakak yang suapin. Eh, Abang apa kakak ya enaknya? Hehe."

Suatu saat nanti, Ghava harus mendengar panggilan semacam itu langsung dari pita suara Ghavi.

Mulut Ghavi menerima nasi goreng itu. Sebenarnya Ghavi suka diperlakukan seperti itu, tapi apa daya, ia malu jika harus mengaku. Memilih pura-pura menolak, padahal sangat mau. Beruntung, Ghava mengerti selalu.

•|•|•|•|•|•|•

"Ghavi!"

Bel istirahat telah berbunyi sejak tadi. Tapi Ghava belum menemukan Ghavi. Dengan panik ia memanggil nama Ghavi berkali-kali. Akhirnya ia memilih berlari mendatangi kelas Ghavi.

Di depan pintu kelas ia melangkahkan kakinya. Matanya berkelana, mencari-cari mata yang serupa dengannya. Hingga akhirnya ia mata indah itu menemukan duplikatnya. Tapi kelereng yang dilihatnya terlapis kaca.

"Ghavi," pekiknya.

Ghava berlari, menuju pojok belakang, tempat bersandarnya Ghavi. Di dekat Ghavi ada Nicko dan Rafli, sudah pasti mereka yang melakukan ini. Penampilan Ghavi cukup memprihatinkan. Rambutnya acak-acakan, juga seragamnya yang berantakan. Di dahinya pun terdapat darah mengerikan. Ghava mendekatinya, membulatkan mata saat melihat ada luka di sudut bibir saudaranya.

Separuh JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang