9. Alunan Nada

235 33 10
                                    

Telapak tangan Rendi yang terayun penuh semangat, melesat cepat mengenai pipi kiri Ghavi dengan akurat. Detik pun terasa lambat, sementara rasa sakit itu merambat secepat kilat. Tersalur ke lubuk hati Ghavi yang untungnya sudah ditempa hingga kuat.

Kali ini Ghava diam. Hanya memandang ayahnya dengan tatap tajam. Dan Ghavi ia kuatkan dalam sebuah rangkulan. Mereka bertiga tetap bertahan, dalam hawa kebisuan yang begitu mencekam. Dalam ketegangan, amarah Rendi tak juga padam. Sementara emosi Ghava semakin muncul ke permukaan.

"Ghava! Nantang Ayah ya pakai itu muka? Tatapan kamu bener-bener nggak sopan ya," kata Rendi dengan nada tinggi.

Minggu masih cukup pagi. Tadi, Ghava dan Ghavi mencoba untuk mendekati Rendi. Tapi ternyata tidak ada kemajuan sama sekali. Sang Kejam masih saja bersikap kasar seakan menjadi hobi.

"MAU AYAH TAMPAR KAYAK GHAVI?"

Ghava melepaskan Ghavi dari rangkulannya. Diam itu masih Ghava pertahankan selama yang ia suka. Mengisi kerongkongannya dengan peluru-peluru amarah dari dalam dada. Hingga penuh sesak dan siap ia lontarkan dengan mulutnya.

"Tampar aja silahkan. Biar nggak cuma Ghavi yang terus-terusan disakitin Ayah. Ayo tunggu apa lagi, Yah? BURUAN TAMPAR GHAVA, YAH! PUKUL AJA SEKALIAN!"

Teriakan menyebalkan itu mencipta kobar yang makin besar. Menyulut amarah Rendi hingga menghanguskan bagian hati, menyisakan puing yang tak lagi berarti. Benar jika Rendi tak punya hati, rupanya hati itu selalu kalah eksistensi dari ego dan emosi, terbakar amarah yang selalu berapi.

Tatap tajam itu kembali Rendi hunuskan. Layaknya pedang yang sudah siap untuk berperang. Tubuhnya menegang, menahan tangannya agar tidak lagi melempar pukulan.

Sombong sekali Ghava, keterlaluan, padahal belum pernah merasakan sebuah tamparan.

"Nggak berani ya? Padahal sering banget loh mukulin Ghavi, nampar pipinya Ghavi. Tapi ke Ghava nggak berani. Kenapa, Yah? Takut Ghava mati, terus nggak bisa jadi pewarisnya Ayah nanti? Terus buat Ayah, Ghavi pantes dipukuli, biar cepet mati, karena dia nggak berarti, gitu?"

Hanya Ghava yang setia dengan riuhnya. Ia memandang sinis ke arah ayahnya. Bukan berarti durhaka. Melainkan ingin menyadarkan ayahnya akan dosa yang sengaja tercipta. Lagipula ia merasa berhak membela separuh jiwanya.

"Heh, bisa-bisa Ayah nggak disayang bunda lagi nih," ujar Ghava lagi.

Ghava ingin terus bersuara. Namun Ghavi telah mencekal lengan kanannya. Membuatnya menolehkan kepala pada Ghavi yang masih memegangi pipinya.

"Udah,Va. Nggak sopan banyak ngomong sama orang tua."

Suara itu, mengalun lirih serupa bisik. Lebih lembut dari angin yang berdersik. Membuat Ghava menelan kembali semua benih-benih kata. Selalu saja, sang Tenang berhasil menyejukkan bara di hatinya.

Sementara itu, Rendi memilih pergi dengan amarah yang masih berapi. Memilih menenangkan diri dengan menyendiri di balik dinding kamarnya yang selalu sepi. Ia heran dengan dirinya sendiri yang selalu saja tidak bisa mengendalikan emosi.

"Sakit ya, Vi? Sini liat coba," kata Ghava yang menyingkirkan tangan dari pipi Ghavi.

Ghavi menurut, membiarkan pipinya diusap-usap dengan lembut. Ia hanya diam, meratapi dirinya yang selalu mendapat penolakan.

"Gue kira Ayah nggak bakal nampar pipi lo karena masih pagi. Eh sama aja ternyata. Kasar banget ayah ya kita, heran gue. Terus ini perlu gue kompres pakai air dingin nggak? Duh, pasti sakit banget ya?"

Ghavi menggelengkan kepala, memandang keramik lantai dengan tatap kosongnya. Hingga ia memutuskan mengangkat mata, tersenyum hambar saat menatap sekilas ke arah kembarannya.

Separuh JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang