13. Dipeluk Sepi

203 26 14
                                    

Ghavi's POV.

Ini tentangmu, penutur janji yang hobi mengingkari. Katanya, kamu takkan pernah lagi membiarkan separuh jiwamu hidup sendiri. Nyatanya, tiap katamu hanya omong kosong. Kamu pendusta, kamu pembohong. Hiks, pembohong.

Apa kamu tau rasa yang lebih sakit dari ditinggalkan sendirian? Itu adalah ketika disuruh menjauh meninggalkan. Ingin tau rasanya? Tunggu ya.

Kamu pemarah, tapi semua orang hanya ingin memperbaiki segala salah. Lalu mengapa kamu tak memberi maaf kepada yang memintanya? Mengapa kamu tega melihat seseorang mengemis maaf atas salah yang tak diperbuatnya?

Hey, percayalah, orang itu tidak pernah pergi, kamu belum pernah ditinggalkan. Kamu saja yang terlalu berlebihan. Kamu cemburu pada ayah, kan? Hanya karena itu, kamu menyuruh separuh jiwamu agar pergi dari hidupmu.

Kamu tidak mengerti betapa bimbangnya ia saat kamu suruh berpaling darimu. Lalu bagaimana dengan janjimu? Bukankah dulu kamu berjanji takkan pernah pergi? Benar, janji itu berhasil kamu tepati. Kamu tidak pergi, siapapun tidak pergi. Namun, kamu telah mengusir seseorang untuk meninggalkanmu agar orang itu hidup dalam sepi. Baik, satu janji kamu tepati, tapi beberapa janji telah kamu ingkari. Sudahlah, jangan biarkan semua janji kehilangan arti.

Suatu saat, hanya sunyi yang mau menemanimu. Kenapa? Karena yang kamu suruh pergi akan benar-benar pergi dan membencimu. Saat itulah, kamu akan sadar dengan cepatnya perputaran waktu. Lalu, waktu akan melambat dikala kamu sendiri tanpa siapapun, bahkan separuh jiwamu. Dan kau akan bosan, merasa ingin menghilang, dan ingin membunuh waktu.

Ini peringatan, bersiaplah untuk merasakan hampa dalam tiap ruang penuh udara. Napasmu akan sesak, air matamu akan terus mengalir hingga kamu terisak. Mungkin, hanya sepi yang akan memelukmu, karena sang Sepi kesayanganmu telah menepi dari hidupmu.

Alghavivi.

•|•|•|•|•|•|•

Aku masih sama, sendiri tanpa Ghava. Iya, karena Ghava tidak menyapaku sejak berhari-hari. Tidak ada lagi nada-nada indah yang memecah sunyi. Sekarang, ia banyak diam. Namun, tiap kali aku menyapa, dia akan langsung berteriak seperti dentum meriam. Intinya, Ghava mengerikan.

Aku rindu Ghava yang dulu. Dia yang riang dan terus berceloteh tanpa jemu. Jika sudah bersamanya, rasanya aku ingin memperlambat denyut waktu. Karena aku ingin menikmati tiap nada dari pita suaranya. Ingin memandang riang wajahnya, dan menikmati nyaman peluknya.

Kini, merasakan peluknya hanya mimpi belaka. Haruskah aku tertidur selamanya agar terus menikmati dekapnya? Huft, Ghava tidak suka lagi memelukku. Heran, apakah ia tidak merindukanku?

Ghava itu tukang cemburu. Bahkan saat aku mengejar ayah, dia melarangku, menyakinkanku bahwa Ghava saja sudah cukup untukku. Saat ayah memelukku beberapa hari lalu, ia juga cemburu. Ia ingin dipeluk ayah, tapi mungkin ragu. Dan ia pikir, aku akan meninggalkannya karena berpihak pada orang lain. Padahal tidak begitu. Ghava tetap nomor satu. Tetap separuh jiwaku. Jika Ghava tau, ini sangat memalukan bagiku.

"Vi, lo bikin gambar apa?"

Ketika suara itu terdengar semakin dekat, aku berpindah halaman. Untungnya, Dika belum melihat apa yang kulakukan. Benar, aku menggambar. Menggambarkan tentang Ghava dalam bentuk untaian kata. Hehe.

Dika mendekat dengan senyum manis yang membuat para gadis tergoda. Aku tidak termasuk, aku laki-laki normal kok. Aku tetap laki-laki meskipun suka membawa notes merah muda kemanapun aku pergi.

Separuh JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang