2. Selalu Ada

457 52 16
                                    

Pagi itu seperti biasa, Ghavi tidak lekas bangun untuk memulai harinya. Itulah dia, tukang tidur yang terlalu santai menjalani hidupnya. Tapi semua ketenangan akan berakhir disaat kembarannya mendatangi kamarnya.

"Ghaviiiii, bangun woy!" Ghava mengguncang tubuh Ghavi yang terbungkus selimut.

"Vi, bangun, sekolah. Ih Ghavi susah banget sih dibangunin."

Ketika keberadaannya tidak dihiraukan oleh kembarannya, Ghava akan menggunakan senjata andalannya. Ia pun mendekat ke wajah Ghavi dan mencium pipinya.

'Cup'.

"Ghavi bau iler, hahaha."

Ghavi membuka mata. Bentuk kerucut pun tampil di bibirnya. Ia kesal. Saudaranya itu suka sekali menganggapnya bayi yang bisa dicium kapan saja.

"Ghava .... Berani-beraninya lo cium gue ya."

Ghavi bangkit dari tidurnya. Menatap kesal kembarannya yang tengah tertawa. Ia malas pergi sekolah. Lebih memilih tidur dan menikmati empuknya kasur.

"Sana mandi biar nggak bau iler," suruh Ghava.

"Gue males ke sekolah," rengek Ghavi.

Seperti yang Ghava duga. Ia tau jika Ghavi memang tidak suka dengan dunia sekolah. Ghava pun langsung ke kamarnya kembali, mengabaikan Ghavi yang memohon-mohon ingin tetap bersantai di rumah.

Ghava bersiap di kamarnya. Mengenakan seragam dan menyisir rambutnya. Setelahnya ia ke kamar Ghavi untuk mengajaknya turun bersama.

Di meja makan telah tersaji menu sarapan buatan Mbok Mimi, pembantu keluarga mereka. Rendi dan dua anak kembarnya tengah menikmati sarapan di tengah keheningan. Hingga suara Ghava menghapus sepi dalam ruangan.

"Eh, Ayah kemarin tampar Ghavi ya? Terus belum minta maaf ya? Ayah pukul Ghavi juga kan? Pipinya Ghavi merah loh kemarin. Ayo, Yah minta maaf sama Ghavi."

Rendi menatap kesal pada si Cerewet yang mengganggu ketenangan meja makan. Sebenarnya ia ingin meminta maaf, tapi ia sudah terlanjur benci Ghavi sejak dulu, tak mudah mengubah sikap padanya. Lagipula Rendi lebih tua, tidak pantas meminta maaf kepada putranya, begitu menurutnya.

"Ghavi gapapa kok, Yah," ucap Ghavi disertai senyum manisnya.

Ghava kesal, apalagi kepada ayahnya yang berkali-kali berlaku kasar pada Ghavi. Bahkan ia belum pernah melihat Rendi meminta maaf kepada Ghavi. Jangankan meminta maaf, menyapa Ghavi dengan lembut pun tak pernah sama sekali.

"Ayah macam apa?" sindir Ghava lirih.

Rendi tidak tahan. Ia harus pergi sebelum emosinya meledakkan diri. Matanya yang telah berapi terpaksa diredam kembali mengingat hari masih pagi. Ia pun berdiri, meninggalkan meja makan, padahal belum kenyang sama sekali.

"Ayah berangkat duluan."

Tinggallah mereka berdua di meja makan. Ghavi yang sibuk dengan sarapannya, dan Ghava yang masih kesal dengan sikap ayahnya.

"Vi, ayah makin nyebelin aja ya. Kok bisa ya kita punya ayah kek gitu."

"Ghava nggak boleh gitu sama ayah. Kan kita harus ngehormatin orang tua," peringat Ghavi.

"Gimana lagi gue harus hormatin ayah? Kayak lo? Dengan cara diem aja pas ayah udah keterlaluan gitu? Ayah tuh udah berkali-kali kasar sama lo, Ghavi. Dan lo diem aja digituin. Betah banget sih disiksa?"

Rasanya Ghava terlalu banyak bicara. Ia pun mengambil air untuk membasahi tenggorokannya. Kemudian ia mengajak Ghavi segera berangkat karena tidak ingin mereka terlambat.

Separuh JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang