15. Ruang Jarak

185 28 33
                                    

"Ghavi, gue kangen."

Sendiri. Ghava sendiri dalam sunyi. Bersama sepi tanpa Ghavi yang biasa menemani. Hanya sepi, bukan Ghavi—si Makhluk Sepi.

Ghava memandangi lukisan. Lukisan yang beberapa hari lalu Ghavi berikan. Hanya rindu yang ia rasakan. Bertanya-tanya, mengapa Ghavi selalu menciptakan jarak panjang?

Mungkin, sesal adalah karma untuknya yang ingin sendirian. Atas ia yang sering meninggalkan. Atas ia yang pernah mengusir Ghavi atas dasar kekesalan. Atas dasar cemburu dengan peluk hangat Rendi yang kini telah ia dapatkan. Harusnya, jarak ini tak lagi ada setelah Ghava menyudahi kecemburuannya. Nyatanya, Ghavi terlalu kecewa. Hingga memasang sekat, memperluas ruang jarak antara.

Ghava berdiri, meninggalkan kamarnya, lalu menuju kamar Ghavi. Tidak ada senyum manis yang menyambutnya. Ghavi fokus belajar tanpa peduli kehadiran Ghava.

"Hai, sekarang jadi rajin belajar nih? Vivi belajar apa? Kalo susah, tanya gue aja."

Ghava terpaksa bertopeng riang. Padahal, Ghavi mengabaikan. Ghava merasa hilang. Celotehannya tiada lagi yang mau mendengarkan. Ia, tak lagi diacuhkan. Tapi ia tidak menyerah begitu saja. Harus berusaha agar mata dan telinga Ghavi kembali terbuka, menjadi tempatnya menuangkan celotehnya.

"Vi, tau nggak? Tadi di sekolah, gue nabrak adek kelas loh. Cantik orangnya, tapi judes. Sombong juga. Masa gue tolongin malah nolak," kata Ghava.

Ghavi tak mempedulikan. Ia tutup bukunya setelah menyelesaikan angka terakhir di ujung halaman. Setelahnya, ia bangkit, menuju ranjang, berniat tidur siang.

"Ghavi, lo nggak mau dengerin cerita gue lagi, ya? Terus gue harus cerita ke siapa lagi?"

Bibir Ghava tertekuk sendu. Rasanya, tidak ada lagi Ghavi yang dulu. Ghava butuh tempat untuk menampung nada dari pita suaranya. Butuh sosok tenang Ghavi yang mau mendengar setiap riangnya.

Ghava tidak suka jarak panjang. Ia ikut duduk di ranjang, berniat memeluk adiknya yang ia rindukan. Namun, Ghavi menghindar, menjauh paksa, menolak peluknya.

"Vi, jangan nyiksa gue dong. Nggak ada lagi yang bisa gue peluk. Lo juga nggak ngelirik gue lagi. Seakan-akan gue cuma bayangan lo aja, ya?"

"Bukannya kebalik?"

"Gue nggak butuh lo lagi. Lo emang gaada gunanya, Vi. Biasanya, lo selalu nemenin gue. Ternyata, lo nggak lebih dari sekedar bayangan gue."

Ghava baru ingat, setiap kata tajam yang ia ucap akan menancap di hati Ghavi dengan kuat.

"Maaf, Vi. Bukan niat gue ngomong kayak gitu dulu. Pas itu gue lagi marah aja. Jangan dimasukin ke hati," mohon Ghava.

Ghavi tidak peduli. Wajahnya masih berpaling dengan rintik air mata yang menghiasi. Hatinya yang terlalu lunak sudah terlanjur tersakiti. Hanya kecewa yang membelenggu hati. Ghava yang berjanji akan memperbaiki retak hati, nyatanya kembali menyakiti.

Ghavi beringsut menjauhkan diri. Mengusap air mata, tapi tetap mendengarkan Ghava yang asyik memutar melodi.

"Vivi, gue pengen meluk. Jangan jauhin gue dong. Gue udah nggak marah kok. Kan gue sayang Vivi. Jangan jauhin gue, please."

"Kan lo yang ngusir gue," kata Ghavi.

"Pergi, jauhin gue! Kalo lo di sini, gue makin marah, tau nggak?"

"Gue mau tetep di sini, nemenin Ghava."

Sekeras apapun Ghavi melupa, kata-kata semacam itu tak juga hilang dari memorinya. Membuat kecewa itu semakin bertakhta. Makin berkuasa, mengendalikan rasa, menghapus percaya.

Separuh JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang