10. Jeda Spasi

192 32 18
                                    

"Kayaknya lo sering digangguin ya sama itu anak? Makannya jangan jadi pendiem."

Dika terus mengomel sedari tadi. Tidak mempedulikan Ghavi yang nampak diam tidak peduli. Hingga Ghava datang menghampiri. Memasang raut bingung sebagai ekspresi.

"Dika ngapain marah-marah?"

"Kembaran lo nih, masa didorong-dorong sama temen-temennya Rio tuh diem aja. Terus mereka udah pergi pas gue dateng."

Ghava mengusap wajahnya. Menghela napas, lalu menatap kembarannya. Sementara yang ditatap hanya diam tanpa kata.

"Udah bilang makasih belum sama Dika?"

"Makasih, Dik. Maaf ngerepotin. Nyatanya gue emang nggak bisa apa-apa, cuma bisa repotin kalian berdua," ucap Ghavi sopan.

Dika mengangguk pelan, menarik senyuman sambil tetap diam. Hingga Ghava kembali bersuara, mengalunkan nada tinggi yang cukup mengganggu telinga.

"Tau kan kalo lo ngerepotin. Makannya gak usah cari gara-gara sama Rio atau siapapun itu. Kalo nggak ada Dika, lo bisa terus digangguin sama mereka. Harusnya lo bisa jaga diri sendiri, bukan cuma diem aja. Jangan kayak orang bodoh yang diem aja pas dijadiin mainan."

Ada yang berbeda dari Ghava. Tatap khawatir itu berpadu dengan raut kesal yang begitu ketara. Entah apa penyebabnya, Ghavi tidak mengetahuinya. Tapi kini Ghava tetap pada diamnya. Menundukkan pandang dan merenungkan, mungkin Ghava terlalu bosan karena sering ia repotkan.

"Lo jangan ngandelin gue sama Dika terus lah. Lo perlu mandiri, Vi. Kalo ditindas tuh serang balik aja gapapa. Kalo lo diem, mereka makin ngelunjak, Vi. Hah Ghavi emang nyebelin deh. Males gue."

"Maaf, kan bukan salah gue. Mereka tadi tiba-tiba dorong gue, Va," lirih Ghavi.

"TERSERAH, TERSERAH, TERSERAH!"

Beberapa pasang mata memusatkan pandang ke arah mereka. Terus memandang, lalu berbisik-bisik kepada teman-temannya. Ghava semakin sebal karena mereka. Membuatnya menggeram, lalu menunjuk beberapa gerombolan teman-temannya.

"Kenapa liat-liat? Itu juga, ngapain bisik-bisik? Ngomongin gue ya? NGGAK GUNA KALIAN, NGGAK GUNA!"

Ghava memilih membalikkan badan. Ingin cepat pergi mencari tenang. Kakinya mulai ia langkahkan, tapi tertahan oleh Dika yang dengan kuat mencengkeramnya di bagian lengan.

"Lo kenapa sih, Va?"

"Jangan gangguin! Gue lagi marah nih, nggak liat apa?"

Setelahnya, Ghava melenggang pergi. Baik Dika ataupun Ghavi, tidak ada yang berniat menahan lagi. Baguslah, Ghava butuh sendiri.

Tatap Ghavi semakin sayu, berhias sendu. Ia merasa ditinggalkan, seperti dulu. Ghavi tidak suka itu, tidak suka saat nada favoritnya kehilangan merdu. Ada apa dengan Ghava? Ghavi tidak tau. Atau memang, Ghava benar-benar sejenuh itu?

"Udah, ayok. Nanti aja kalo udah reda, lo samperin ya," peringat Dika.

•|•|•|•|•|•|•

Bel pulang sudah berbunyi beberapa saat lalu. Namun Ghava masih berkeliaran di sekitar ruang guru. Mencari seseorang yang mungkin bisa membantu. Abaikan dulu Ghavi yang sedari tadi menunggu. Lagipula ia sedang tidak peduli hal itu.

"Maaf, Bu, Pak Adit dimana ya?" tanya Ghava kepada seorang guru.

"Pak Adit udah pulang, Va. Ada apa ya?"

"Enggak, Buk. Kalo gitu saya permisi," pamit Ghava.

Ghava melangkah keluar ruangan. Sungguh mengecewakan, orang yang menjadi guru IPA sekaligus wali kelasnya itu ternyata sudah pulang. Ini bencana, sungguh menyebalkan. Bagaimana jika orang itu melaporkan kepada ayahnya tentang hasil ulangan?

Separuh JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang