8. Selimut Hampa

218 32 16
                                    

Segala pernah yang terjadi masih tersimpan dalam memori, sangat membekas di dalam hati. Hampa itu telah berlalu, tapi semua ingatan seolah tak lekang oleh waktu. Antara masa hampa itu, ada yang terus berjuang meski pernah dipatahkan. Terus mengejar meski terus disebut sebagai bayangan. Dia yang dibenci, tersakiti dan menangis seorang diri. Dialah Ghavi.

Ada juga Ghava, yang bimbang antara ego dan perasaan. Terus diyakinkan agar membenci seseorang. Padahal benci itu tidak sebesar yang dibayangkan. Hanya karena ayahnya yang terus memberi dorongan. Dengan polosnya ia menurutinya. Mulai menanam dendam pada kembarannya.

Sekitar lima tahun yang lalu, Ghavi benar-benar merasa hampa. Ghava berpaling meninggalkannya, dengan langkah lebar tanpa mau dikejar. Dibuntuti pun ia menghindar. Ghavi terus berusaha mendapatkan kembali hati Ghava, menyatukan kembali jiwa mereka.

§§

"Ghava, gue minta maaf," ucap Ghavi sambil menunduk.

"Jangan ganggu gue, Vi," respon Ghava cukup kasar.

"Kata Mas Toni, bukan gue yang bikin bunda meninggal."

Ghavi berucap lirih dan penuh keyakinan. Tapi air matanya turun perlahan. Membuat Ghava tidak tega melihatnya. Ghava memilih membalik badan, agar tak lagi melihat mata menyedihkan itu dalam pandangan.

Tangan Ghava dicekal oleh adiknya. Membuatnya semakin membara dengan kobar yang kian menggila. Dengan tajam, ia melirik Ghavi dengan ekor matanya.

"Ghava, tolong maafin ya."

"Lepasin! Nggak usah pegang-pegang."

Sembari meneriakkan untaian kata, Ghava menghempas tangan yang memegang lengannya. Memasang wajah marah tanpa peduli air mata di pipi kembarannya.

"Eh ini ada apa kok si kembar berantem?" tegur pembantu barunya.

Ini hari pertama Nita bekerja di rumah ini. Ia dipekerjakan oleh Rendi atas saran Mimi. Tugasnya adalah memastikan kebersihan seluruh pekarangan rumah besar ini.

"Nita, jangan ikut campur. Kita nggak berhak. Nanti Mbok jelasin semuanya. Sekarang kita ke dapur aja ya," ajak Mimi dengan lembut, membuat Nita langsung mengangguk.

"Hiks. Ghava, gue harus apa biar dimaafin?"

Tangis itu, air mata itu, tak lagi mampu meluluhkan Ghava dengan dendam yang menggebu. Seakan hati itu mati rasa, telinganya ia tulikan agar tak mendengar suara retakan dari hati orang di depannya. Seolah meredam apa yang ia rasa, suara Ghava kembali menembus partisi sepi yang tercipta beberapa detik tadi.

"Balikin bunda. Bisa?"

Intonasinya ia turunkan, tapi bagi Ghavi, itu adalah suara menakutkan. Ghavi hanya menggeleng pelan. Lagipula ia tidak mungkin bisa mengembalikan Ratna yang sudah berpulang.

"Nggak bisa kan? Anak macam apa yang bikin bundanya meninggal? Bener kata Ayah, lo itu nggak guna."

'Brak'.

Pintu kamar itu tertutup keras. Menyisakan Ghavi yang bersama air matanya yang terus merebas. Kini ia sendiri, ditinggalkan Ghava yang benar-benar membenci. Terpuruk? Pasti. Sang Sepi benar-benar sendiri, bersama hampa yang terus menyelimuti.

"Ayah, Ghavi minta maaf. Ayah jangan marahin Ghavi lagi."

Lalu apa yang didapat Ghavi? Tanpa aba, tanpa permisi, telapak tangan Rendi sudah mendarat di pipi Ghavi. Bahkan tak sepatah katapun keluar dari mulut Rendi. Ghavi meringis, menatap ayahnya yang juga melangkah pergi.

Separuh JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang