20. Aku Saja

281 28 29
                                    

Nada musik Dika terus mengalun tanpa jeda. Sejak pagi, ia terus bertanya tentang luka yang Ghavi punya. Membuat pemilik luka merasa risih, ingin sembunyi saja.

"Vi, itu luka dari mana sih?" tanya Dika sekali lagi.

"Kan udah gue bilang, gue gapapa. Udah, jangan gangguin gue, lagi gambar nih. Kalo mau ke kantin, ya silahkan."

Ghavi kesal, mengembalikan pandangnya pada kertas gambar, lalu kembali menggambar. Hingga suara lain mulai terdengar.

"HAI, orang ganteng datang nih. Kasih sambutan dong," ucap sang Riang.

Ini masih waktu istirahat, kelas hanya terisi separuhnya. Namun, banyak yang terganggu dengan nada riang Ghava.

"Ghavi kok betah ya punya kembaran berisik kayak dia?"

Ghava mengabaikannya. Tak ada gunanya pula menanggapi cibiran tokoh sampingan yang tidak berpengaruh dalam hidupnya.

"Ghava, ini kembaran lo kenapa luka-luka gini sih?" tanya Dika.

Ghavi menggambar dengan tenang. Namun, Ghava tau, kembarannya itu pasti merasa risih dan tidak nyaman. Ia tau, karena separuh jiwanya itu terlalu amatir dalam menyembunyikan perasaan.

"Itu? Oh, itu gue cakar. Hahaha ... sadis kan gue? Lo mau gue cakar juga, Dik?"

Dika cemberut mendengarnya. Merasa dibohongi, tapi tidak apa-apa. Ia menghargai rahasia mereka.

"Ih, Ghava." Dika langsung berlalu begitu saja.

"Dika, ngambek ya? Hehe. Bunda Okta jangan marah. Ghava anak yang baik kok, nggak akan nyakar bundanya," kata Ghava.

"Gue mau ke kantin, laper. Anak-anak, yang akur ya," nasihat Dika kepada dua anak itu.

Ghava mengangguk lucu, memandangi punggung kawannya yang meninggalkan pintu. Lalu, pandangnya beralih pada Ghavi yang aktivitasnya berhenti. Kepala itu mendongak, membuat dua pasang mata indah saling beradu. Dan Ghava menemukan tanda tanya di mata Ghavi itu.

"Kenapa, hmm?" tanya Ghava.

"Kita bohongin Dika. Kalo kita dosa gimana?"

Ghavi menunduk, memainkan pulpennya. Sementara, Ghava meletakkan siku di meja, menyangga dagu dengan punggung tangannya, dan menampilkan senyum gula. Ghavi pun hanya melirik ekspresi manis Ghava.

Ghava berkata, "Kan cuma gue yang bohong. Yang dosa gue aja, lo nggak usah."

•|•|•|•|•|•|•

Garasi menjadi tempat kesukaan Toni. Tempat dimana ia paling diterima di rumah ini. Tempat dimana ia bekerja, yang juga sebagai tempat menyalurkan hobi.

Kini, ruangan ini sudah bersih tanpa noda. Ia juga sudah menjalankan tugasnya, melakukan servis bulanan untuk tiga motor besar milik Ratna.

Saatnya beristirahat, menikmati tenang. Ia memilih duduk di bangku taman di bawah pohon rindang. Menikmati hembus angin yang menerpa lembut, menggugurkan dedaunan. Indah, menambah kesan sejuk dan menenangkan.

Namun, ada pemandangan yang menghancurkan keindahan, mengusik ketenangan, dan mengganggu penglihatan. Toni benci wajah itu. Wajah bertopeng ramah yang yang sebenarnya penuh kebusukan.

"Ke mana, Bik?" tanya Toni.

"Eh, Toni. Ini saya mau ngasih es teh ke Ghava Ghavi, dari Mbok Mimi. Tapi mereka ngga ada di kamarnya. Saya kira lagi di taman," tutur Nita dengan senyuman.

Jantung Toni berdetak lebih kencang. Bukan apa-apa, ia hanya khawatir akan keselamatan para majikan. Takut jika es teh itu tidak aman.

Bisa aja, minuman itu dikasih racun mematikan.

Separuh JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang