19. Tekanan Maksimum

229 25 29
                                    

Suara hujan malam tak lagi membuatnya ketakutan. Riuhnya ia abaikan. Membiarkan hening malam menjadi teman. Ia kira akan lebih tenang. Padahal, pemuja tenang tak sedang bersama sang Tenang. Pikirannya selalu berkecamuk soal ganasnya ancaman.

Hanya ada dua pilihan, berkorban atau mengorbankan.

Ghava sendiri, tanpa Ghavi. Anak itu sudah menjelajahi mimpi sejak satu jam tadi. Para pembantu mungkin sudah tidur, termasuk Toni yang menginap di sini karena disuruh Rendi.

Ghava memilih turun ke dapur sekedar mencari camilan. Namun, baru memasuki ruangan, ia dikejutkan oleh keberadaan sosok yang menurutnya mengerikan. Makhluk kejam yang senyumnya menyeramkan. Lihat, senyum itu tampak tidak sopan ditujukan kepada anak majikan.

"Hehe, Bibik." Ghava terkekeh sumbang.

Nita, orang itu selalu mencari kesempatan untuk membalas dendam. Tapi mengapa harus Ghava? Tentu saja karena anak itu adalah putra dari Rendi Januarta. Yakinlah, Ghavi pun akan menjadi korban selanjutnya.

Tanpa aba-aba, Nita menarik Ghava. Mengajaknya keluar menuju teras belakang. Tempat yang berseberangan dengan gudang di ujung halaman.

"Katanya udah nggak takut hujan ya? Pilih mana, hujan-hujanan atau Bibi siksa di gudang itu?"

Ghava menggeleng sembari menggigit bibir dalam. Tangannya masih dicengkeram oleh pemilik dendam. Dingin malam menjadi saksi atas aksi kejam yang kembali beraksi dengan mengulang ancaman yang menciutkan nyali Ghava dalam pemuaian takut yang ia pendam.

Nita mengeluarkan pisau kecil dari saku dasternya. Membukanya, lalu dengan cepat ia goreskan ke lengan kiri Ghava. Membuat anak itu meringis dan memasang air mata.

"Mbok Mimi lagi tidur. Nggak usah berisik. Kalo sampe kamu teriak, Ghavi akan saya bunuh. Kalian berdua akan mati."

Ghava didorong hingga tersungkur, mencium genangan hujan. Lalu, Nita masuk dan mengunci pintu dari dalam.

Dendam menyelimutinya. Sejak suaminya dipecat dari perusahaan Rendi karena korupsi, hidup Nita sengsara. Nama keluarganya tercemar karena tindakan suaminya. Tidak ada yang mau memberikan lapangan kerja. Hingga ia hidup miskin dan menderita.

Kelaparan menyerang, hingga putra kecilnya yang masih balita meninggal dunia. Disusul suaminya yang memilih bunuh diri karena merasa tidak becus sebagai kepala keluarga. Saat itu, Nita ingin menyerah dan ikut bunuh diri juga. Namun, Rendi datang dan menawarkan pekerjaan sebagai pembantu di rumahnya.

Lima tahun berjalan, tapi Nita belum pernah berkesempatan untuk balas dendam. Kini, ia rencananya mulai ia jalankan. Berjalan pelan, hingga berakhir membunuh sebagai pelampiasan. Sebagai akhir dari dendam, dan sebagai pelunasan atas kematian dua orang tersayang. Dua orang pula yang akan ia lenyapkan. Ghava dan Ghavi yang masih awam tentang masa lalunya yang kelam.

Kembali pada Ghava, yang setia duduk lemas di tengah hujan deras yang bulirnya menusuki dengan ganas. Dingin itu menjelajah bebas, menelusuri jaringan tubuh tanpa tahu batas.

Deras ini semakin bertingkah, membuat luka sayat itu semakin berdarah. Ketakutannya semakin bertambah, ini mengingatkannya pada hari buruk saat bundanya meninggal dikelilingi genangan hujan berwarna merah.

Kini, merah itu ia lihat lagi. Perih itu semakin berteriak soal mati. Hujan terlalu seram dipadukan dengan darah seperti ini. Membuat bayang kematian semakin menghantui.

Dingin, tak membuat air matanya membeku. Bersama kelu, ia agungkan sebuah nama dalam jerit bisu. Ghavi, sosok yang mungkin sedang mengeratkan pejam dalam selimut biru. Sebiru pucuk jemari Ghava yang bergetar pelan, seiring dingin dan ketakutan yang dilawan tanpa mampu.

Separuh JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang