-Dua-

726 120 14
                                    

Nine years ago..

"Itu Misano, Assen sama Motegi. Mulai sekarang Icen temenan baik sama mereka bertiga ya?"

Aku yang masih berumur sembilan tahun waktu itu cuma anggukkan kepala, pas Ayah nunjuk ke arah tiga bocah di depan sana. Sembari mikir juga sih, yang tadi disebut tuh nama orang atau sirkuit Moto GP?

"Icen jangan jadi anak pemalu lagi ya. Di sini temen Icen banyak, ngga kayak di tempat tinggal kita yang dulu," tambah Ibu, dengan jemari yang mengusap rambutku lembut.

"Iya." Sahutku ragu, sambil ngeliat tiga bocah yang bakal jadi tetanggaku itu. Jujur aja aku ngga yakin bisa berteman baik sama mereka. Tatapan mereka nyeremin dan ngga keliatan bersahabat. Tapi kata Ayah, salah satu dari mereka itu sebaya sama aku. Dan nantinya dia bakal jadi teman sekolah juga.
Hmmm.

"Hai, Misano. Aku Vincent."

Sok akrab, aku coba nyamperin si bocah tertua. Dan bener aja, dia langsung kasih respon ngga menyenangkan.

"Gue Yuga. Bukan Misano," katanya sedikit sewot. Aku ngernyit dahi.

"Tapi kata Ayah nama kamu Misano?"

Dia muterin bola matanya, keliatan jengkel, "Jangan panggil gue pake nama itu. Gue ngga suka."

Karena dia udah bilang begitu, aku cuma bisa nganggukkin kepala. "Um, besok kita berangkat sekolah bareng ya?"

Misano Prayuga, bocah bermata sipit dengan kulit seputih tofu itu cuma ngangguk pelan, terus masuk ke dalam rumahnya.

Dan yang ngga pernah aku sangka, kami bisa berteman baik setelah pertemuan pertama yang kurang menyenangkan itu.

.

Yuga lahir dari keluarga atlet. Papinya dulu  seorang pebalap nasional, sedang Maminya adalah atlet loncat indah. Mereka sama-sama memutuskan pensiun dini setelah si bungsu Motegi lahir, dan sekarang berprofesi sebagai pelatih di bidang olahraga masing-masing.

Dulu aku penasaran sama nama tiga bersaudara itu sampe berani nanyain langsung ke Yuga. Katanya sih begini. Yuga dikasih nama Misano karena saat Maminya hamil, Papinya lagi ngikutin kejuaraan di sirkuit Misano, Italia. Lalu pas Assen lahir, itu karena Papi berhasil naik podium tiga di sirkuit Assen, Belanda. Kalau Motegi, itu sih karena memang lagi liburan di Jepang dan emang sengaja supaya lahiran di sana.

Keren amat jadi bungsu, lahirnya di luar negeri ngga kayak dua abangnya. Heu.

Bakat atletik itu menurun pada ketiga anak mereka. Si sulung Yuga gemar menekuni basket. Ozy si anak tengah sangat menyukai tenis. Sedang si bungsu Yosi tengah mengasah bakat taekwondonya.
Mereka semua bertalenta dan pekerja keras. Sampai terkadang bikin aku iri melihatnya. Apalagi ditambah ketika Yuga tiba-tiba nanya soal apa mimpi dan cita-citaku.

"Lo udah umur segini masih belum tau mau jadi apa?"

"Bingung aku, Ga. Enaknya jadi apa ya?"

Yuga muterin bola matanya, "Lo ngapain nanya gue? Yang tau soal bakat terpendam kan elo sendiri, Cent."

"Tapi serius, aku masih ngga tau harus ngapain di masa depan," kataku sambil menopang dagu.

"Ayah sama Ibu lo ngga minta lo buat jadi apaaa gitu?"

Aku geleng kepala, "Mereka sih ngebebasin aku buat jadi apa aja yang aku mau. Cuma masalahnya.. aku ngga tau apa yang bener-bener aku penginin."

"Ummm," Yuga nggumam pelan, "Lo kan bisa ngelukis juga kayak ayah lo. Kenapa ngga ngikutin jejak beliau aja?"

"Bisa doang tapi ngga hobi."

"Lanjutin les saksofon lo terus kembangin."

"Umm males ah."

Vincent & Yuga (VGa) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang