-Dua Belas-

528 94 8
                                    

Pagi ini aku kebangun dengan perasaan yang ngga kayak biasanya. Berasa dapat mimpi buruk pas ingat kalau Yuga nolak aku dengan begitu tegas. Dia benaran ngga mau menjalani hubungan lebih dari sahabat, karena menurutnya kami ngga akan bisa berubah sampai kapanpun.
Tapi tidak bagi aku, karena aku merasa hubungan kami bisa saja berubah suatu saat nanti. Entah kapan, tapi kemungkinan itu pasti ada kan? Aku sih mau percaya diri saja. Kalau toh akhirnya tetap ngga ada yang berubah, aku ngga menyesal karena udah mencoba yang terbaik.

Apakah aku sayang Yuga? Sayang banget. Saking sayangnya aku sampai bingung mengartikan perasaanku yang sebenarnya. Apakah rasa ini murni platonis atau aku memang menganggap Yuga sebagai cintaku satu-satunya? Aku masih ingin mencari tau, aku ingin menegaskan pada diriku sendiri kalau aku sedang tidak main-main. Meski di seberang sana Yuga ngga menyambut baik, aku akan tetap berusaha membuatnya yakin dan percaya.

Tapi ada satu hal yang masih jadi masalah.

"Jim, kamu ngga perlu repot-repot begini. Lagian kita cuma mau tutor, astagaaa."

Aku decak heran waktu Jimmy dateng ke rumah dengan dua kantung berisi banyak cemilan. Dia ini terlalu semangat atau gimana sih?

"Biar ngga garing, Cent. Belajar ngga sambil ngemil tuh kurang asyik."

"Tapi ini kebanyakan. Lagian Ibuku udah nyiapin buat kita semua kok."

Jimmy nepuk bahuku sambil mertahanin senyum cerahnya, "Ngga apa-apa. Gue yang pengen traktir kalian kok. By the way, mana yang lain kok belum keliatan?"

Aku hela napas pendek, membiarkan Jimmy masuk ke dalam rumah dengan dua kantung berisi makanan itu. Sebenarnya aku sedikit ngga enak karena sikap Jimmy yang begitu. Kelihatan sekali kalau dia masih berusaha mencari perhatian dariku. Mau sebanyak apapun cara buat nolak dia baik-baik, Jimmy tetap ngga mau nyerah. Kupikir dia sempat goyah karena ketemu lagi sama Bang Surya, tapi nyatanya dia sekarang jadi cuek sama orang itu.

Dan lihat sekarang, Jimmy terus menempel ke aku seolah ngga mau dipisahkan barang sedetik. Dia bahkan kayak ngga mau ngebiarin aku duduk berdekatan sama Yuga dengan cara duduk di tengah-tengah kami. Sikapnya ini jelas bikin teman-teman lain jadi salah fokus. Yuga sih keliatan ngga peduli, tapi aku bisa tau dia sebel juga ngeliatinnya. Apalagi Bang Surya, dia pasti mikir yang berlebihan. Mana dia juga berkali negur lantaran Jimmy ngga berhenti nanya-nanya ke aku.

Haaahhh. Ya ampun.

"Jim, sini sebentar," aku akhirnya narik Jimmy di sela waktu istirahat kami ke dapur. Mukanya terlihat antusias, berbanding terbalik dengan aku yang udah sangat bad mood.

"Kenapa Cent?"

Aku hela napas sebelum ngomong baik-baik sama dia.

"Tolong jangan kayak gini terus, Jim. Aku ngga nyaman."

Kalimat singkatku berhasil bikin Jimmy tertegun. "Kenapa lo ngomongnya gitu? Lagian apa yang salah sih?"

"Aku tau kamu dan aku paham alasan kamu berbuat kayak gini terus. Tapi aku pun udah punya pendirianku sendiri. Aku ngga bisa nerima hati kamu."

Jimmy dengus pelan, "Karena Yuga?"

"Aku udah bilang ke kamu sebelumnya. Harusnya kamu ngerti."

"Lo benaran sayang sama Yuga?"

Aku ngangguk, tegas. "Banget."

"Tapi keliatannya Yuga ngga ngerasain hal sama. Bahkan gue yakin dia ngga berperasaan."

"Dan kamu ngga ada hak buat ngejudge dia, Jim," aku menghela napas sekali lagi, "Kita temenan kayak biasa aja bisa kan? Sumpah aku ngga nyaman kalau kamu terus-terusan nempelin aku begini."

Vincent & Yuga (VGa) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang