“Kamu nggak mau dikutuk jadi batu kayak si Malin Kundang, ‘kan, Afika?”
Suara lembut itu tak selaras dengan mata Bunda yang melempar tatapan mengancam. Fiuh, lagi-lagi jurus andalannya keluar.
“Bundaku Sayang,” panggilku lembut. “Malin Kundang itu dikutuk gara-gara durhaka sama ibunya. Bukan karena nggak mau dijodohkan.” Aku membantah dengan nada sehalus mungkin.
Nyonya Marina Dwi Hastuti harus dihadapi dengan tenang. Tidak boleh gegabah. Salah langkah sedikit saja, bisa-bisa namaku dicoret dari Kartu Keluarga.
“Tapi sebagai anak yang baik, kamu seharusnya nurut sama Bunda. Lagian, ini demi kebaikanmu sendiri, kok.” Bunda benar-benar keras kepala. “Apa yang terjadi sama Hera harus dijadikan pelajaran. Bunda juga nggak mau kecolongan. Jadi, lebih baik kamu nikah daripada nanti malah pacaran nggak jelas.”
Pernah mendengar pepatah yang bunyinya seperti ini, Tidak makan nangka, tetapi ikut kena getahnya? Persis sekali dengan keadaanku saat ini. Gara-gara kasus anak tetangga yang menikah karena hamil duluan, Bunda jadi panik dan cemas. Takut hal buruk itu menimpaku juga. Makanya, aku diminta untuk menikah saja daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Ih, amit-amit, deh! Jangan sampai. Walaupun sebenarnya kekhawatiran Bunda sedikit tak masuk akal. Boro-boro punya pacar, temanku yang berjenis kelamin laki-laki saja hanya satu biji.
“Sebenarnya kalau kamu sudah ada calon, Bunda mungkin bisa pertimbangkan. Tapi berhubung kamu nggak punya, ya sudah berarti kamu harus setuju dengan calon yang Bunda ajukan.”
Aku mengernyit. Pernyataan barusan termasuk semena-mena, bukan, sih? Apakah berpotensi melanggar undang-undang perlindungan hak asasi manusia? Karena kalau iya, aku mau mengajukan keberatan.
“Lagian, Tian itu udah paling pas buat kamu. Dia ganteng, mapan, dewasa, dan yang paling penting, kita kenal betul dengan keluarganya.” Bunda masih begitu kukuh dengan rencananya. “Mamanya itu sahabat baik Bunda, dan Tante Citra juga suka banget sama kamu. Dijamin, kalau kamu menikah sama Tian, nggak bakalan ada drama mertua menantu kayak di TV-TV itu.”
Terus, kalau nanti malah timbul drama suami zalim bagaimana? Suami selingkuh karena tak cinta sama istrinya? Naudzubillah ....
“Tapi Mas Tian itu bukan tipe pria idamanku, Ma.” Aku masih berusaha memperjuangkan hak asasi manusia yang melekat pada diriku. Kebebasan memilih calon suami.
Bunda malah mencibir mendengar sanggahan dariku.
“Memangnya kamu mau cari pria kayak apa, sih? Perasaan Bunda, tipe pria idaman kamu tuh berubah-ubah terus, deh. Musiman kayak buah.” Bunda balik menyerang. “Waktu SMP dan lagi suka-sukanya sama grup band Indonesia, kamu bilang nanti mau punya suami vokalis band. Abis itu, kamu ganti pengen punya suami anggota TNI. Dan itu gara-gara kamu nonton drama Korea yang lagi hits yang tokohnya tentara sama dokter itu. Eh, enggak lama kemudian kamu udah ganti acara lagi. Bilang pengen punya suami atlet nasional gara-gara Jojo dapat medali emas di Asian Games.”
Duh, Bunda kok masih ingat aja, sih! Heran aku. Padahal itu kan rekam jejak yang sudah lama.
“Jangan sampai ya nanti kejadian kamu udah punya suami terus pengen ganti gara-gara tipe idaman kamu juga berubah.” Bunda memelotot.
“Ish, doanya Bunda jelek banget, sih!” Aku memprotes dengan gerutuan.
“Makanya, kamu nurut sama Bunda!” sambung Bunda yang terdengar semena-mena di telingaku.
Karena merasa terpojok, aku akhirnya meminta bantuan. Menjauh dari Bunda, aku menyerbu Ayah yang sedang duduk di sofa. Kupeluk lengan Ayah, lalu bergelayut manja.