Bab 3. Perbudakan Zaman Now

591 61 2
                                    

Pradamedia adalah sebuah perusahaan rintisan yang bergerak di bidang agensi digital marketing. Perusahaan ini didirikan oleh Mas Tian bersama dengan dua sahabatnya. Berdiri sejak lima tahun lalu, Pradamedia berhasil membuktikan keberhasilannya dengan terus survive di tengah maraknya kemunculan perusahaan-perusahaan digital marketing baru yang menjadi pesaing. Begitu cerita yang kudengar dari Tante Citra. Soal validitasnya, aku juga belum tahu.

Perusahaan ini berkantor di sebuah bangunan berlantai dua yang ada di Jalan Raya Cilandak KKO. Bangunannya memang tak begitu besar, tetapi tampak segar dengan gaya arsitektur yang unik. Ditambah dengan desain interiornya yang terkesan hangat. Lebih mirip seperti rumah yang dijadikan kantor. Nyaman.

Jujur saja, aku langsung menyukai kantor ini. Mungkin akan betah juga bekerja di dalamnya, seandainya semua ini tak dikacaukan oleh Mas Tian dengan pernyataan kontroversi di hari pertamaku.

“Calon istri?” Mbak Rossy tampak kaget setelah mendengar pengakuan Mas Tian yang tak kuketahui apa maksud dan tujuannya.

Mas Tian mengangguk dengan senyum yang belum hilang. “Iya, dia ini calon istriku, Ci. Jadi, jangan galak-galak sama dia.”

Aku sendiri kebingungan bersikap. Apalagi saat ini, Mbak Rossy tengah menatapku lekat seolah-olah ingin memastikan kebenaran ucapan Mas Tian.

Napas legaku baru bisa keluar saat wanita itu mengangguk dan kembali menatap Mas Tian yang masih berdiri.

“Oke, kalau begitu dia jadi asisten pribadi kamu aja, ya, Yan? Biar nggak ribet. Kamu bisa ajarin apa yang harus dia kerjakan sesuai dengan keinginan kamu.” Mbak Rossy berbicara dengan ringan.

Kok, terdengar sangat mengerikan?

“Oh, jangan. Aku belum butuh asisten pribadi.”

Jawaban dari Mas Tian itu membuatku lega. Kukira dia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengerjaiku habis-habisan. Ternyata dia tak seburuk itu.

“Terus, dia mau ditaruh di mana? Sebelum tahu kalau Afika ini calon istrimu, aku sih mau tempatin dia di bagian kreatif. Mungkin bisa bantu-bantu Sani atau Nida. Sekarang, aku yang nggak enak kalau mau tempatin dia di sana. Anak-anak juga pasti merasa sungkan kalau nanti mau nyuruh-nyuruh calon istri bosnya.”

“Lho, enggak apa-apa. Afika beneran mau kerja di sini, sekaligus cari pengalaman. Biar anak-anak nggak merasa sungkan, ya kamu nggak perlu bilang soal status Afika.” Mas Tian kemudian beralih menatapku. “Kamu nggak keberatan kan, Fik?”

Wah, ini bisa disebut undangan perang secara halus alias tak kasatmata. Oke, siapa takut!

“Nggak. Saya nggak keberatan ditempatkan di bagian mana pun, Mbak.” Aku berkata kepada Mbak Rossy dengan mantap.

Mbak Rossy menatapku beberapa saat. Mungkin ingin memastikan kesungguhanku. Hingga akhirnya, dia mengangguk.

“Oke, kalau memang mau kalian begitu.” Mbak Rossy berdiri. “Ayo aku kenalin dulu kamu sama anak-anak di sini.”

Mbak Rossy memimpin jalan. Aku mengikuti tepat di belakangnya. Sementara, Mas Tian mengekor di belakangku.

“Sst!”

Aku sengaja mengabaikan panggilan pelan dari arah belakang itu.

“Eh, Afika!”

Suara itu tak terlalu keras. Namun, masih tertangkap jelas di telingaku. Walaupun memang sengaja kuabaikan.

Bodo amat!

“Eh, Afika rasa jeruk!”

Memangnya enak dicuekin!

(bukan) Suami IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang