Bab 8. Sepupu Kesayangan

541 60 3
                                    

Ada alasan lain yang mendasari keputusanku untuk menerima ajakan pergi dengan Mas Tian pada akhir pekan ini, selain perkara ponsel. Ya, tidak lain karena pembicaraan yang tak sengaja kucuri dengar dari Mbak Rossy dan Mas Tian sebelumnya. Topik yang sangat menarik, tetapi sayangnya menggantung karena aku belum sempat mendengar jawaban dari Mas Tian.

Pelarian?

Duh, kalau itu memang benar, berarti nasibku benar-benar tragis. Apalagi kalau aku dan Mas Tian benar-benar menikah nantinya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana pilunya hidup menjadi istri dari pria yang hanya menjadikanku sebagai pelarian saja. Belum lagi ditambah dengan keadaan suamiku yang justru mencintai wanita lain, dan akan terus memelihara bayangan dan kenangan tentang wanita itu.

Baru membayangkan saja, aku sudah merasa nelangsa duluan. Jadi ingin nyanyi, deh. Kumenangis ....

“Kok, diem aja? Ngantuk?”

Teguran itu membuatku tersadar dari benak yang melanglang buana tak jelas. Enggak jadi nyanyi, deh.

“Enggak. Lagi malas aja,” jawabku singkat. “Sepupu kamu itu cowok atau cewek, sih, Mas?”

“Cewek.” Gantian Mas Tian yang menjawab singkat.

Sebenarnya, kesempatan berdua dengan Mas Tian ini bisa kumanfaatkan untuk meminta konfirmasi soal lari-larian itu. Hanya saja, aku ragu untuk menanyakannya. Belum lagi, secara tak langsung, aku juga harus mengakui soal kuping-menguping. Ribet pokoknya.

“Kamu beneran enggak apa-apa? Diam aja dari tadi?” Mas Tian kembali bertanya.

“Ada apa-apa, sih. Uang jajan abis, nih.” Aku menjawab asal. “Mana belum gajian.”

Mas Tian tertawa mendengar jawabanku yang ngawur.

“Butuh donatur, enggak?” Dia bertanya.

Aku meliriknya sedikit. “Memang Mas mau nawarin diri?”

Pria itu mengangguk tanpa ragu. “Boleh, tapi ada syaratnya, sih.”

Aku langsung menggeleng. “Ogah kalau ada tapi-tapinya begitu. Aku maunya ada yang memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.”

Aku bicara dengan nada menyanyi. Membuat Mas Tian tergelak keras.

“Mana ada yang begitu?” Pria itu menyahut dengan tawa yang belum sepenuhnya reda.

“Ada, tuh. Ayah kalau ngasih aku uang jajan, nggak pernah ada tapi-tapinya di belakang.”

Mas Tian menoleh sekilas, masih tersenyum. “Kamu dekat banget sama Om Restu, ya?”

“Iyalah. Namanya juga ayah sama anak.” Aku menjawab cepat. “Ayah itu yang terbaik. Pembelaku yang paling loyal. Pokoknya enggak tergantikan.”

Mas Tian mengangguk beberapa kali. “Yeah, i see.

Hampir empat puluh menit berkendara, akhirnya kami sampai di satu kompleks perumahan yang ada di daerah Kalibata. Awalnya, aku mengira Mas Tian janjian dengan sepupunya di rumah makan atau mal begitu. Tenyata kami langsung ke rumah sepupunya itu. Eh, tapi bukannya tadi dia bilang sepupunya itu dari Bandung?

“Ini rumah tanteku, adiknya Mama. Nah, anaknya tanteku ini yang mau aku kenalin ke kamu. Mumpung dia lagi di Jakarta. Soalnya dia sudah pindah ke Bandung sejak menikah.” Mas Tian menjelaskan seolah bisa membaca pertanyaan dalam hatiku.

Aku hanya mengangguk tanpa menjawab. Dalam diam, aku mengikuti Mas Tian yang melangkah lebih dulu. Sepertinya, dia sudah cukup sering ke rumah ini. Terbukti dari satpam dan asisten rumah tangga yang langsung mengenali Mas Tian dan mempersilakan untuk masuk ke rumah.

(bukan) Suami IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang