Bab 5. Detektif Amatir

519 57 3
                                    

“Rumah kamu masih di Ragunan, ‘kan?” tanya Mas Tian saat mobil telah melaju di Jalan Raya TB Simatupang.

“Iyalah,” jawabku sedikit sewot. “Baru juga dua minggu yang lalu, Mas datang ke rumah. Masa iya, udah pindah.”

Mas Tian malah tertawa. “Di Ragunan, kandang nomor berapa?”

Aku menoleh dan melempar tatapan sadis. Semoga saja bisa mirip dengan Tante Feni Rose. Eh, bukannya takut, pria itu malah tergelak.

Sebenarnya, aku sudah kebal dengan ejekan seperti ini. Sejak SMP sampai kuliah, banyak teman yang meledekku gara-gara tinggal di daerah Ragunan.

“Bercanda kali. Galak amat, sih.” Mas Tian masih merasa perlu berkomentar.

Kali ini, aku diam. Mulai mengantuk gara-gara kekenyangan. Apalagi mobil Mas Tian ini sejuk dan wangi. Duh, mata mulai berat, nih.

“Kamu nggak pengen belajar naik motor, Fik? Atau kursus nyetir mobil? Biar nggak ribet naik transportasi umum.” Mas Tian bertanya lagi.

“Nggak. Enak jadi penumpang begini. Kalau ngantuk, bisa tidur,” jawabku enteng sambil mencari posisi lebih nyaman untuk bersandar, lalu mulai memejamkan mata. “Lagian, naik kendaraan umum juga nggak ribet.”

“Oke, transportasi umum zaman sekarang memang mudah dan terjangkau. Tapi kan tetap lebih efektif kalau kamu bisa berkendara sendiri.” Mas Tian masih ngeyel.

Aku membuka mata, dan menoleh padanya. “Kok, malah Mas yang ribut, sih? Aku yang menjalani malah biasa aja, kok.”

Dia menoleh sekilas sambil tersenyum. “Aku malas aja kalau nanti udah nikah terus diribetin soal antar mengantar.”

Owalah, begitu ternyata. Terbukti kalau dia bukan calon suami yang loyal. Eh, tunggu dulu! Nikah???

Aku kembali menoleh padanya dan melempar tatapan horor. “Nikah?”

Mas Tian tergelak melihat tanggapan dariku.

“Mas, ini sebenarnya enggak lucu, deh. Masa gara-gara aku kerjain kamu masalah taruhan, kamu terus balas dendam dengan bawa-bawa nikah segala.” Aku mengeluarkan unek-unek yang tersimpan sejak dua minggu lalu.

Tepat saat itu, laju mobil terhenti karena lampu lalu lintas merah yang menyala. Mas Tian menoleh padaku dengan senyum tak luntur.

“Siapa bilang aku mau balas dendam? Aku serius, kok.” Pria itu terus menatapku.

Efeknya, ada gejolak mulai timbul di perutku. Alarm waspada di otakku langsung menyala. Afika, kamu nggak boleh terjebak sama pesona palsu Septian Kelabu! Aku mencoba mengingatkan diri sendiri.

“Serius apaan?” Aku sengaja menunjukkan ketidakpercayaan  pada ucapannya.

“Ya, soal pernikahan. Lagian, kamu itu masuk kriteria cewek idamanku, kok. Jadi, kenapa harus menentang ide perjodohan?” Pria itu berkata dengan ringan.

Jangan percaya! Jangan percaya!

“Tapi Mas Tian nggak masuk kriteria cowok idamanku, tuh!” Aku sengaja menantang.

Pria itu menatapku dengan sorot geli. “Bukannya enggak masuk, tapi belum. Nanti, kamu juga bakalan klepek-klepek sama aku.”

“Ih, pede tingkat dewa!” sahutku sengit.

Mas Tian hanya terkekeh, tapi tak menanggapi lagi. Fokusnya kembali pada laju kendaraan karena lampu lalu lintas hijau telah menyala. Setelah berbelok ke kanan, mobil melaju di Jalan RM Harsono.

“Kamu pernah masuk ke gedung kementerian pertanian belum, Fik?” Mas Tian bertanya saat mobil melewati gedung yang disebutnya.

“Pernah, memangnya kenapa?”

(bukan) Suami IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang