Bab 10. Tertangkap Basah

688 75 2
                                    

Setiap orang mempunyai aib di masa lalu. Aku yakin itu. Tidak ada satu orang pun yang memiliki hidup yang benar-benar sempurna. Pasti ada satu kekurangan dalam dirinya, atau kejadian yang pernah dialami, yang membuat seseorang begitu ingin mengoreksinya.

Dalam hidupku sendiri, aku juga memiliki beberapa kejadian yang masuk kategori memalukan. Baik malu ringan, maupun malu yang berefek membuatku tak nafsu makan selama beberapa hari. Salah satunya terjadi saat aku masih SMA.

Hari itu, aku dan Jasmine mengikuti pelajaran bahasa Inggris di laboratorium bahasa. Awalnya, semua berjalan lancar. Beberapa sesi soal listening diberikan kepada seluruh siswa. Namun, rasa bosan kemudian melanda hingga aku dan Jasmine gagal untuk fokus pada materi soal yang diperdengarkan lewat headset. Kami berdua malah asyik mengobrol sendiri. Dan tahu apa yang kemudian terjadi?

Karena asyiknya mengobrol, kami berdua sampai tak menyadari kalau mikrofon milik kami telah diaktifkan oleh guru bahasa Inggris lewat panel pengendali utama. Otomatis, semua yang kubicarakan dengan Jasmine juga didengar oleh seluruh orang yang berada dalam laboratorium saat itu.

Mungkin rasa malu itu sedikit berkurang andaikan yang sedang kami bahas saat itu adalah topik keren dan bermanfaat. Efek rumah kaca terhadap pemanasan global misalnya. Atau sejarah runtuhnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dulu. Sementara, pada kenyataannya, aku dan Jasmine justru sedang membahas tentang perbandingan harga dan rasa makanan di kantin sekolah.

Ketika itu, aku dan Jasmine berdebat menentukan kantin yang pantas menjadi favorit bagi kami. Jasmine berpendapat kalau kantin Bu Eko layak mendapat predikat itu karena rasa sotonya yang sedap, dan gorengannya yang enak. Sementara, aku berpendapat lain. Bagiku, kantin Bu Tini lebih layak menyabet gelar sebagai kantin yang terbaik. Selain harga soto yang selisih lima ratus rupiah lebih murah, gorengan di kantin Bu Tini juga lebih mantap.

Pendapatku itu didukung oleh data yang telah kukumpulkan selama beberapa kali kunjungan ke kantin saat istirahat. Dari pengamatan, pengukuran, dan juga uji rasa, aku menyimpulkan bahwa gorengan Bu Tini lebih bersih, besar, dan enak. Bakwannya memiliki luas permukaan dan ketebalan di atas rata-rata bakwan di kantin lain. Tahu isinya juga, apalagi tempe tepungnya. Lebih tebal dibanding tempe kantin sebelah yang tipisnya hampir seperti silet.

Walaupun pada akhirnya, kami sepakat bahwa kantin Pak Teguh yang menjadi favorit kami. Lho, kok bisa? Bisa, dong. Karena di kantin Pak Teguh itu, Jasmine bisa makan sambil cuci mata melihat gebetannya, Ardy, ketua OSIS pada masa angkatan kami yang selalu menjadi pelanggan kantin itu. Sementara, aku mendapat keuntungan ditraktir jika bersedia menemani Jasmine makan di kantin Pak Teguh. Ya, bisa dibilang simbiosis mutualisme.

Sejak terjadi insiden di laboratorium bahasa itu, aku dan Jasmine sempat menduduki trending topic lelucon selama seminggu berturut-turut di kalangan siswa. Malu? Rasanya tak perlu ditanya. Saking malunya, aku bahkan rela seandainya disuruh minum racun seperti yang dikonsumsi oleh Sinichi Kudo hingga membuat tubuhnya mengecil dan berganti identitas menjadi Conan Edogawa.

Aku mengira kejadian itu akan menjadi sisi paling kelam dan memalukan dalam hidupku. Tanpa pernah tahu kalau akan datang masa ini. Saat aku tertangkap basah menggunjing bosku sendiri. Parahnya, objek gunjingan itu yang memergokiku secara langsung.

“Kan abis makan daging bosnya sendiri.”

Ya ampun, sindirannya menusuk sekali!

Namun, aku tak boleh pasrah. Membela diri adalah hak yang dimiliki setiap penduduk di negara yang menganut asas praduga tak bersalah.

“Mas dengar, ya? Tapi aku sama Bang Sani kan ngomongin yang baik-baik aja.” Aku tersenyum manis. “Lagian, katanya kalau kita lagi bicarain orang, terus orangnya tiba-tiba datang, itu berarti orangnya akan berumur panjang, lho, Mas?”

Mas Tian tersenyum dengan antusiasme yang agak berlebihan. “Oh, ya? Kata siapa? Teori dari mana, tuh?”

Duh, dari siapa, ya? Aku mana tahu sejarahnya. Aku saja sebenarnya tak percaya pada hal-hal seperti itu. Apa coba hubungannya diomongin sama panjang umur?

“Ada. Kata seseorang yang namanya enggak boleh disebut.” Aku menjawab semakin asal.

Mas Tian mengangguk. “Oh, gitu. Berapa orang tuh yang berhasil dibohongin?”

Elah, dia juga tak percaya ternyata.

Aku mingkem, lalu buru-buru menyelesaikan pekerjaanku. Kalau terlalu lama, Kak Nida bisa marah nanti. Lagi pula, aku juga harus secepatnya kabur dari sini.

“Tadi, aku dengar ada yang lebih milih aku ketimbang Desta, lho. Beneran, ya?”

Aku tak menoleh, tetapi sudah bisa membayangkan muka tengilnya Mas Tian. Duh, nasibku memang sedang kurang beruntung hari ini. Bisa-bisanya membuat pernyataan seperti itu dan didengar oleh Mas Tian. Besar kepala dia pastinya.

“Padahal dulu bilang kalau aku nggak masuk kriteria cowok idamannya.” Mas Tian kembali menyindir.

Terpaksa, aku meladeninya kali ini.

“Mas, aku kan cuma diminta milih di antara dua pilihan. Ya udah, aku pilih satu. Tapi bukan berarti suka.” Aku memberi klarifikasi, seperti artis kalau sedang kena gosip.

“Masa?”

Duh, ekspresinya saat bertanya benar-benar menguji kesabaran.

Aku berbalik badan agar bisa berhadapan sempurna dengan Mas Tian.

“Begini, lho, Mas. Ini misalnya, ada pertanyaan buatku. Afika, kamu pilih pete apa jengkol? Nah, cuma ada dua pilihan, tuh. Dan harus dijawab, padahal aku enggak suka keduanya. Terpaksa, aku akhirnya tetap milih salah satu. Persis tuh sama pertanyaan Bang Sani tadi.”

Mas Tian mengernyit. “Kamu samain aku kayak pete atau jengkol?”

Aku mengangguk dan tersenyum. “Mas Tian nggak usah tersinggung. Pete dan jengkol banyak yang suka, kok.”

Pria itu berdecak keras, lalu mengusap wajah seperti orang yang frustrasi.

“Udah, deh. Daripada bahas sesuatu yang enggak penting, mendingan kamu beresin barang-barang kamu sana.”

Aku syok mendengar perintah itu. Aku dipecat? Padahal belum gajian?

“Malah bengong. Sana buruan.” Mas Tian terlihat tak sabar.

“Mas, seenggaknya biarin aku gajian dulu, dong, sebelum dipecat,” ucapku berusaha tampak memelas.

Mas Tian ganti yang melongo, setelah itu malah tertawa terbahak-bahak.

“Siapa juga yang pecat kamu? Aku tuh nyuruh kamu siap-siap buat diajak meeting sama calon klien baru.” Pria itu masih tertawa geli.

Alhamdulillah, belum dipecat. Aku kan masih hutang mau nraktir cilok Jasmine nanti kalau sudah gajian.

“Tapi aku mau tanya dulu. Hagata Rasa, calon klien kita, itu resto tempat kita tanding makan pedas dulu, ‘kan?” Mas Tian bertanya dan tampak penasaran.

Aku meringis dan mengangguk. “Iya, resto itu tempat Jasmine kerja.”

“Wah, pantes kamu bisa main curang. Owner-nya tahu enggak soal konspirasi yang dulu pernah kamu buat yang pastinya atas bantuan Jasmine itu?”

“Eh, jangan ember, dong, Mas.” Aku panik seketika.

Pria itu tersenyum meremehkan. “Kenapa? Takut Jasmine dipecat sama bosnya?”

Aku menggeleng. “Enggak, sih. Mas Hangga nggak mungkin pecat Jasmine. Tapi aku yang nggak enak sama Mas Hangga kalau sampai ketahuan.”

“Hangga?”

“Iya, owner Hagata itu namanya Mas Hangga,” jelasku.

Mas Tian mengangguk.

“Oke. Kita berangkat ke Hagata lima belas menit lagi.” Pria itu menepuk kedua telapak tangannya dengan pelan. “Jadi, enggak sabar pengen ketemu sama yang namanya Hangga itu.”

Aku mengernyit dengan mata mengikuti punggung Mas Tian yang menjauh. Merasa sedikit aneh dengan kalimat terakhir pria itu?

Dia ... normal, ‘kan?

—bersambung—

(bukan) Suami IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang