Jasmine tergelak keras tanpa ada empati sedikit pun setelah aku menyelesaikan cerita tentang hasil pertemuan keluargaku dengan keluarga Mas Tian beberapa hari lalu. Benar-benar teman yang tak setia. Bukannya menghibur, dia malah menertawakanku.
“Iya, ketawa aja terus. Mumpung karma belum datang.” Aku bicara sambil merengut kesal.
Jasmine menutup mulut, berusaha meredam sisa tawa. Lalu dia menggeleng dengan wajah pura-pura menyesal. “Jangan doain yang jelek buat teman, dong!”
“Duh, aku beneran pusing nih, Min,” keluhku memijat pelipis.
“Ih, udah dibilangin jangan panggil aku Min!” Jasmine protes keras. “Jangan panggil Jas juga. Panggil namaku dengan lengkap. Jasmine.”
Aku mencibir kalimat protes dari Jasmine barusan. Anak ini memang paling ribet untuk urusan nama. Boro-boro dipenggal suku katanya, Jas atau Min, diubah menjadi Yasmin saja, dia tak mau.
Jasmine tak tahu saja. Kalau sedang kesal padanya, aku bahkan menyebutnya dengan nama Melati. Kalau kesalnya sudah level berat, malah aku tambahin lagi sambil menyanyi.
Putih-putih melati, Ali Baba. Merah-merah delima, Pinokio. Siapa yang baik hati? Cinderella. Tentu disayang Mama.
Cie ... yang baca sambil nyanyi.
“Gara-gara kamu, nih! Kenapa tagihan makanannya nggak sekalian direkayasa, sih?”
Jasmine menggeleng. “Oh, tidak bisa. Itu sudah masuk ranah penipuan namanya. Kalau ketahuan Mas Hangga, bisa-bisa aku dipecat.”
Aku manyun. Padahal restoran milik Mas Hangga ini kupilih supaya lebih mudah mengatur permainan. Eh, Jasmine malah kerjanya setengah-setengah.
“Mas Hangga nggak mungkin pecat sepupunya sendiri cuma gara-gara itu.”
“Eh, siapa bilang? Dalam keluarga, aku emang sepupunya. Tapi kalau di tempat kerja, aku mah tetap aja karyawan biasa.” Jasmine terus membela diri.
“Kalaupun sampai dipecat, ya tinggal nyari kerjaan lain. Biar nanti, aku yang gantiin posisi kamu.”
Aku nyengir, tetapi hanya sebentar. Tepukan keras dari Jasmine mendarat di lenganku. Sakit, woy! Maklum, tangan mantan atlet bola voli waktu SMA dulu.
“Enak aja. Aku nggak mau nanti jadi pengangguran kayak kamu,” ejek Jasmine kurang ajar.
Ya ampun, nasibku begini amat. Pengangguran sejak lulus sarjana. Susah nyari lowongan kerja, malah sekarang mau dinikahkan paksa.
“Udah, deh. Aku lihat Mas Tian juga cakep ini. Sekilas, dia mirip Baskara Mahendra. Udah rezeki nomplok itu. Jangan disia-siakan. Belum tentu kamu dapat yang secakep dia kalau nyari sendiri.” Jasmine berbicara lagi.
Aku melirik kesal. “Menikah itu bukan cuma soal cakep atau enggaknya.” Kutepuk bagian dada dengan pelan dan dramatis. “Tapi juga soal hati.”
Jasmine justru tergelak keras.
“Ketahuan banget kalau dulu kamu nggak perhatiin Bu Rukmi pas ada pelajaran tentang anatomi tubuh manusia. Hati itu bukan di situ, Neng. Tapi di sini,” ucap Jasmine sambil menepuk perut bagian kanan di bawah tulang rusuk.
“Terserah, deh. Yang jelas, aku nggak akan menyerah untuk berusaha membatalkan rencana perjodohan ini.” Aku tetap kukuh pada pendirian.
Jasmine malah tampak tak acuh. Mulai sibuk dengan laptop. Entah, dia sedang mengerjakan sesuatu, atau hanya iseng dengan akun media sosialnya.
“Jasmine!”
Panggilan yang menyerukan nama Jasmine itu membuatku menoleh. Dari arah tangga menuju lantai dua, seorang pria berjalan mendekat ke arah kami.