Momen pertama kali bertemu Mas Tian adalah salah satu insiden yang tidak ingin kuingat kembali. Kejadiannya sudah cukup lama. Sekitar satu tahun yang lalu.
Berawal dari Bunda yang meminta dibuatkan akun media sosial di aplikasi berlatar biru dengan logo huruf F. Kemudian dengan akun yang kubuatkan, Bunda mulai berselancar dan mencari teman lewat dunia maya. Hingga akhirnya bisa menemukan sahabat lamanya saat SMA dulu.
“Tante Citra mau kirim rawon buat Bunda, nih, Fik!” Bunda berteriak senang di suatu pagi.
Aku hanya mendengar, tanpa benar-benar menanggapi. Lagi pula, rawon bukanlah makanan kesukaanku.
Tidak berselang lama, terdengar bunyi bel dari arah depan. Bunda langsung menyuruhku untuk membuka pagar. Sebenarnya, aku sedang malas, tetapi tetap bergerak karena terpaksa. Percayalah, patuh pada semua perintah Bu Marina adalah salah satu kunci ketenangan hidup di rumah ini. Aku dan Ayah sudah memegang teguh prinsip ini sejak lama.
Sebuah motor terparkir di depan pagar dengan seorang pria berdiri di dekatnya.
“Antar makanan ya, Mas?” tanyaku setelah membuka pagar secukupnya.
Pria itu mengangkat mata dari layar ponsel. “Iya.”
“Mana, Mas?” pintaku langsung.
Setelah menerima sebuah tote bag, aku menyelipkan selembar pecahan sepuluh ribuan sambil mengucapkan terima kasih. Lalu kembali menutup pagar.
“Bunda, ini makanannya udah datang.” Aku segera melapor kepada sang ratu.
Bunda menghampiriku, lalu mengedarkan pandangan.
“Lho, orang yang nganter di mana? Nggak kamu suruh masuk?”
Aku menggeleng. Bunda aneh. Biasanya driver ojol juga tak pernah disuruh masuk kalau antar makanan.
“Kok, nggak kamu suruh masuk, sih, Fik?” Bunda tampak mulai kesal.
“Ngapain disuruh masuk? Bunda mau kasih tips?” Aku balik bertanya. “Udah aku kasih tips, kok.”
Bunda malah memelotot. Seolah aku telah melakukan kesalahan besar.
“Kamu kasih tips?”
Aku mengangguk. “Iya. Sepuluh ribu.”
Bunda tampak menarik napas dalam-dalam, lalu berteriak nyaring. “Afika! Yang nganter itu tadi anak Tante Citra, bukan tukang ojek.”
Sejak saat itu, Mas Tian selalu meledekku kala bertemu. Entah saat dia mengantar sesuatu ke rumah, ataupun saat aku ke rumah Tante Citra dan tak sengaja bertemu dengannya.
“Ini titipan dari Mama buat bundamu. Tips-nya boleh dilebihin sedikit, ya? Buat tambah beli bensin.” Begitu dia menyindirku.
Atau kadang memakai kalimat seperti ini. “Jangan lupa rate bintang lima, ya?”
Lalu biasanya dia akan tertawa terbahak-bahak setelah berhasil membuatku mati kutu.
Sekian waktu berlalu, bukannya mereda, tingkahnya malah semakin menjadi. Seperti sekarang ini. Seenaknya saja, dia mengganti namaku sembarangan.
“Hai, Biskuit Hitam! Sini!”
Pura-pura tuli, dosa enggak?
“Afika Maudy Resiana!”
Jasmine menyikut lenganku saat aku masih diam di tempat. Sebenarnya, aku malas menghampiri Mas Tian, tetapi tak enak kepada Mbak Rossy. Nanti, dia menganggapku tak sopan karena bertingkah abai kepada mereka.