Bab 9. Survei Dadakan

546 63 3
                                    

“Kata Jasmine, kamu mau datang kemarin. Kok, enggak jadi?” tanya Mas Hangga yang kini duduk di depanku.

“Aku ada janji pergi sama teman, Mas,” jawabku dan mulai memasukkan satu suapan bistik ayam ke dalam mulut.

Ugh, nikmat sekali! Aku memejamkan mata saat mulutku dibanjiri oleh kelezatan makanan buatan Mas Hangga. Benar-benar sempurna. Dulu sebelum aku mengenal Mas Hangga, kukira pria ganteng yang jago masak itu hanya ada di ajang kompetisi Master Chef saja. Namun, hal itu terbantahkan sejak aku bersahabat dengan Jasmine, kemudian dikenalkan dengan sepupunya yang bernama Hangga Ganendra Utama. Ternyata paket cowok sempurna itu ada, dan Mas Hangga menjadi salah satunya.

“Gimana? Enak?”

Mas Hangga masih merasa perlu bertanya, padahal ekspresiku seharusnya sudah menjawab semuanya.

Kuletakkan pisau dan garpu, kemudian mengangkat dua jempol. “Enak pakai banget.”

Mas Hangga terkekeh, dan tampak puas dengan jawabanku. Dia ganti mendekatkan gelas berisi air putih. “Minum dulu.”

Tak perlu diperintah dua kali, aku segera meneguk air putih itu. Alhamdulillah, benar-benar kenyang. Memang rezeki anak salihah, sering sekali mendapat makanan gratis.

“Mas Hangga nggak ada kerjaan? Tumben stand by di sini. Biasanya sibuk wara-wiri?” tanyaku setelah mengusap bibir dengan tisu.

“Lagi free, nih.” Mas Hangga menjawab santai. “Eh, kamu sekarang kerja di agensi marketing digital ‘kan, Fik?”

Aku mengangguk. “Iya, memangnya kenapa, Mas?”

“Aku kayaknya butuh content creator buat memaksimalkan promosi lewat media sosial, deh.” Mas Hangga mulai menjelaskan. “Selama ini, promosi lewat media sosial juga udah jalan, sih. Cuma ya begitu. Baru ala kadarnya aja. Aku sih pengen promosi yang lebih terarah, fokus, dan efektif. Makanya, mau nyoba pakai jasa orang yang memang ahli bikin konten promo.”

“Wah, boleh banget tuh, Mas. Kebetulan di kantorku itu ada bagian yang spesialisasinya memang fokus ke social advertising. Ntar aku kasih kontak bosku, ya? Biar Mas Hangga lebih gampang yang diskusi.” Aku menanggapi dengan semangat.

Siapa tahu kalau aku berhasil mendatangkan klien baru, nanti posisiku bisa naik. Minimal tidak menjadi kacung lagi. Kepalanya kacung mungkin. Yaelah, sama saja yang jadi kacung itu, sih.

“Sip. Ntar kamu kirim kontak bos kamu by WA aja. Atau kasih kontakku ke bos kamu juga boleh.”

Aku mengiyakan dan berjanji akan segera mengabari Mas Hangga kalau sudah ada jawaban dari si bos, alias Mas Tian.

Jasmine belum muncul juga, padahal dia bilang sudah jalan ke sini sejak setengah jam yang lalu. Tadi, dia memang sedang tak ada di tempat saat aku sampai di Hagata Rasa, nama restoran milik Mas Hangga ini. Katanya, ada urusan dengan salah satu supplier bahan untuk restoran.

Daripada bengong, apa aku memanfaatkan keberadaan Mas Hangga sebagai teman diskusi masalah yang sedang kuhadapi, ya? Masalah apalagi kalau bukan soal Mas Tian.

“Mas, aku boleh curhat, enggak?” tanyaku memberanikan diri.

Mas Hangga mengernyit. “Curhat? Tumben. Biasanya sama Jasmine.”

Aku meremas jemariku sendiri. “Soalnya aku butuh sudut pandang laki-laki dalam masalah ini, Mas.”

Mas Hangga terus menatapku lekat. Seperti sedang berusaha menilai ekspresiku. Sebisa mungkin, aku bersikap santai dan tak mencurigakan.

(bukan) Suami IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang