26. takdir

463 39 9
                                    

Yusuf sibuk mengunci rumah setelah selesai bernostalgia dengan kenangan tentang bagaimana ibunya yang harus menjelaskan padanya bahwa bapaknya tak akan selalu pulang.

Ada rasa sedih dan sakit hati. Melihat tempat tidur yang setiap hari ditunggui sang ibu selalu kosong.

Rumah ini harus disewakan, setidaknya harus ada yang mengurus seminggu sekali. Ia tak ingin rumah ini hancur. Dan kemudian hilang perlahan-lahan. Bagaimana pun juga kisahnya bermula dari rumah ini. Jerit tangis bahkan tawa bahagia sang ibu yang melahirkan hingga melepaskannya pergi direkam sempurna oleh dinding-dinding putih yang berdiri tegak ini.

Rumah juga adalah saksi bisu pertemuannya dengan Anastasya  juga kenangan sang ibu.

"Pa, aku mau ke onan disini, katanya biasanya murah-murah. Lumayan bawa ke medan" Anastasya menatap suaminya yang sedari tadi memandang lurus ke arah ruang tengah yang kosong.

"iya, aku temani ya ma, sekalian aku mau singgah ke sekolahku dulu"

"terima kasih suamiku." Senyum Anastasya terlalu sering tersungging di bibirnya. Suatu kebanggaan bagi Yusuf. Istrinya ratunya. Seperti itulah ia menciptakan raut bahagia yang tak akan pernah sirna di wajah Anastasya.

###

Siang itu hari penerimaan rapor. Tapi sekolah sudah tak begitu ramai, Yusuf berjalan pelan, melintasi halaman tempat ia bersekolah dulu. Saksi tentang bagaimana ia dan mimpinya ingin keluar dari kampung ini. Menjelajah dunia melihat kota-kota besar.

banyak guru yang baru disana. Tapi ada satu yang masih ia kenal hingga sekarang. Nurdin si penjaga sekolah.

pria tua itu tersenyum menyapa Yusuf, pria itu tak lagi muda. Namun ia cukup jeli mengenali Yusuf, si pemimpi.

"bang Nurdin" ucap Yusuf menegur pria yang tengah berdiri di ambang pintu.

"ya pak" tanya Nurdin pelan dan kemudian melihat lekat-lekat ke arah Yusuf. Seakan-akan takut salah menyapa dan salah mengenal orang.

"ini aku Yusuf bang" dan kemudian mekar lah tawa mereka berdua. Hanya berlangsung tak lama hingga kemudian seorang bocah yang memegang piala maju ke depan kelas. Pria yang duduk sendiri tanpa wali itu tampak berani dengan sol sepatu yang sudah lepas.

"selamat ya Ngit, sampaikan salamku sama mamakmu." Si guru menyelamati bocah itu.

"itu dia, si pemimpi yang selalu ingatkan saya sama kamu. Bagaimana kabarmu Suf?" Tanya Nurdin menjabat tangan Yusuf dipenuhi dengan rasa haru.

"baik bang"

"kukira kau sudah lupa balik ke kampung"

"enggak lah bang"

bocah itu melewati Yusuf dan Nurdin sambil menunduk pelan. Nurdin menepuk punggung yang terkulai lemas itu.

"kau pasti belum makan kan Ngit? Ini ada nasi bungkus"

"makasih bang, tahu dari mana aku gak makan bang?"

"kan aku ke simpang sambil belanja untuk jualan di kantin, dari pagi kau kulihat di pasar bantu-bantu. Salam buat mamak mu ya. Beruntung dia punya anak sepintar kau"

"iya bang, makasih ya bang"

"ya"

bocah itu tersenyum dengan se plastik nasi bungkus, namun murung melihat piala yang ada di tangannya itu. Raut wajah yang sempat membuat Yusuf bingung. Ada satu perasaan yang membuat ia penasaran.

"jadi kau kesini mau balik atau jalan-jalan aja?" Pertanyaan Nurdin membuyarkan konsentrasi nya melihat punggung bocah yang perlahan-lahan menjauh.

Lamtiur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang