Kedua puluh lima, Bimbang.

19 8 12
                                    


Ketika bertemu dengan seseorang yang pernah menjadi alasan untuk menangis, dan selalu ada di setiap bayang-bayang rindu membuat perempuan yang berdiri diantara dua arjuna yang selalu membantu mengobati lukanya itu dilanda sebuah rasa baru, rasa ingin memeluk namun juga ingin memaki. Bibirnyapun tak sanggup untuk ditarik walaupun senyum setipis benang. Sebab sang bibir ini ingin sekali bertanya kabar, namun tak ada satu suara yang keluar dari bibir itu.

Betapa terkejutnya lagi, senyum yang selama ini hanya muncul dimimpinya kembali ia lihat. Kembali dengan tatapan kala pertama mereka bertemu.

"Ku rasa jika tidak ada yang ingin kalian sampaikan aku pamit dulu, maaf aku ada sebuah tugas yang harus kukerjakan," ucapnya. Sebenarnya bukan itu yang gadis itu ingin dengar, bukan kata pamit.

"Oh, iya Renjun semangat jadi panitia!" Jaemin menimpali.

Sedangkan lelaki disamping yang terlihat khawatir itu hanya memberikan senyum simpul hingga lelaki tak terlalu tinggi itu berlalu.

"Ara, kamu baik?" Jeno membuka suara.

Ara mengangguk lalu mendongakkan kepala menatap kekasihnya dan memberikan senyum yangia paksa untuk terlihat tulus.

Senyum itu terbalas, dan satu nyamuk yang sejak tadi ikut khawatir itu hanya terdiam.

















Jeno menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang kost milik Ara, namun Ara tak kunjung keluar dari mobil. Matanya menatap lurus kedepan, kosong. Membuat lelaki yang kini sudah membuka tutup botol air mineral itu kembali dilanda khawatir.

Ia menyodorkan air mineral pada pacarnya, agar sedikit lebih tenang.

"Makasih Jeno," ucap Ara dan meneguk air mineral hingga sisa setengah.

"Kamu baik?" Jeno bertanya lagi.

Akhirnya Ara menatap mata lelaki disampingnya lekat, dan iapun menggelengkan kepala.

"Aku tidak baik-baik saja," ujarnya.

Hatinya perih secara tiba-tiba, perasaanya kembali menggoyah. Baru saja ia menetapkan pelabuhan terakhirnya kini lelaki yang pernah menorehkan luka itu kembali dihadapannya.

"Apa kamu sudah mencintaiku?" tanya Jeno pelan.

Ara hanya menundukkan kepalanya, ia merasa nyaman selama bersama Jeno. Ia juga merasakan perlahan jantungnya berdetak kencang, namun beberapa saat lalu jantungnya kembali berdetak sangat kencang membuatnya dilanda kebingungan.

"Apa lukamu sudah berhasil kau sembuhkan?"

Pertanyaan Jeno membuatnya kembali bungkam, bahkan tadi hatinya tidak konsisten saat itu juga lukanya terasa perih namun entah rasa rindu yang besar itupun muncul. Tetapi sekarang luka itu terasa perih, entah ada apa.

"Ayara, kau tahu aku mencintaimu? Aku ingin menyembuhkan lukamu? Kau tahukan?"

Ara mengangguk dalam tak ada keberanian untuk mematap mata menenangkan milik Jeno.

"Aku tahu, aku lelaki asing yang hanya bermodal keberanian dan kesiapan untuk menunggumu ini masih berusaha mendapat tempat dihatimu. Apa kau sudah bisa menerimaku sekarang?"

Tak ada jawaban apapun.

Jeno menghela nafasnya, ia menundukkan kepalanya dan ia letakkan kepala yang terasa berat itu di setir mobil sebagai tumpuan.

Hening, tak ada satu kata yang keluar dari masing-masing bibir yang bungkam itu. Baik Jeno maupun Ara masih larut dalam pikiran dan kegelisahan masing-masing.

Cerita Mereka (SELESAI).Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang