H-7. Orang yang aku sayang

21 5 0
                                    

Jika Tuhan telah memanggil orang yang kamu sayang untuk pulang, kamu jangan menyalahkan-Nya. Tapi, kamu harus menerima takdir dari-Nya.

_________

"Astagfirulloh!" Aku terkejut kala membuka pintu yang sudah menghadirkan wajah Derral tepat dihadapanku.

"Lo, ngapain sih?!" geramku seraya mendorong dia menjauh.

Aku menatap aneh padanya, keningku berkerut. Tak ada wajah cengengesan Derral yang sering ia tampilkan dipagi hari, kali ini dia hanya menunduk.

Aku mendekat dan menyentuh bahunya, "Lo, kenapa?"

Ia mendongak, menampilkan wajah lesu disertai tatapan sayu. Ada tersirat sedikit rasa ngilu dihatiku.

"Lo, kenapa?" ulangku bertanya sembari menatap dalam matanya.

Hening, tak ada jawaban. Sorot matanya yang tak bisa kubaca, membuatku kalang kabut merasa khawatir.

"Ral, lo kenapa? Jangan tatap gue kayak gitu," peringatku. Sesekali aku goyangkan bahunya.

"Nay," katanya dengan nada yang lemah.

"Ral, kenapa? Lo sakit?" selidikku sambil menyentuh dahinya. Hangat.

Ia menggeleng pelan, "Maafin gue."

Seketika aku bingung dibuatnya, "Kenapa minta maaf? Emang lo salah apa?"

"Gue minta maaf, gara-gara kemarin minta lo berhenti kerja. Gue kira pekerjaan itu gak penting buat lo," lirihnya masih dengan tatapan sayu.

Lagi, aku menghela nafas berat kemudian melepaskan tanganku dari bahunya.

Dengan sigap, Derral kembali meraih tanganku dan memegangnya kuat, "Maafin gue ya, gue gak mau dicuekin lo lagi kayak semalam. Seenggaknya lo angkat telepon gue," rintihnya seperti orang putus asa sembari menatapku dalam.

Aku ingin tertawa tapi tak tega. Jadi, gara-gara itu Derral menampilkan wajah sedihnya pagi ini?

Aku menatap lengan yang masih dipegang itu.

"Nay, lo mau 'kan maafin gue? Lo mau juga 'kan tetap ngangkat telepon dari gue? Lo mau juga 'kan pulang sekolah bareng gue?" tanyanya beruntun.

Aku tersenyum tertahan, "Lo ngapain sih lebay amat! Gue kira lo sakit, ternyata lo ngemis maaf dari gue," ujarku tertawa seraya melepaskan cengkraman Derral.

"Lo gak perlu minta maaf Derral. Kemarin gue buru-buru pulang, soalnya gue dapat kabar kalo di cafe lagi kerepotan makanya gue langsung pergi. Dan untuk panggilan lo yang gak sengaja gue angkat. Maaf ya, soalnya pada saat lo nelpon gue gak tahu. Semalam juga pulangnya larut lagi," jelasku panjang lebar.

Sedetik kemudian, sudut bibir Derral tertarik keatas, "Berarti lo maafin gue?"

"Udah gue bilang lo gak salah, Ral."

Kemudian Derral meninju udara seraya berkata "Yes!" Aku tersenyum geli melihat kelakuam anak itu. Hari demi hari tingkahnya semakin aneh saja.

"Ya udah yuk berangkat," ajaknya seraya menarik tanganku.

"Eh, tunghu dulu. Gue belum pake sepatu," balasku polos, melirik kaki yang masih mengenakan sendal jepit.

Derral mengikuti lirikan mataku, ia menepuk jidatnya, "Ya udah, lo pake sekarang."

Dengan cepat aku memakai sepatu dan tak lupa juga mengunci pintu sebelum berangkat sekolah.

Setelah itu aku dan Derral langsung naik ke motornya yang terparkir tak jauh dari kami berdiri tadi.

D E R R A Y ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang