BAB 01

24.4K 989 18
                                    

Please don't be a silent readers.

~

"Bunda udah punya calon istri untuk kamu, Bihan."

Bihan yang sedang fokus pada buku tebal yang sedang ia baca jadi menoleh, matanya yang terbalut kacamata baca itu menampilkan sebuah tanda tanya.

Melihat raut kebingungan anaknya membuat wanita berkhimar abu-abu itu menaikkan alis. "Kenapa?"

"Buat apa, Bun?"

Nisa, wanita itu berdecak sebal, sudah tahu calon istri, anaknya itu masih saja bertanya untuk apa. "Kamu ini udah 29 tahun, Bihan. Umur, pemikiran, dan finansial kamu pun udah cukup matang untuk membangun rumah tangga."

Bihan mengembuskan napas setelah paham akan mengalir ke mana arah pembicaraan mereka, ia menutup buku tebalnya dan meletakkannya di atas meja untuk bergantian menatap manik mata bundanya. "Bun, Bihan tahu, tapi Bunda juga tahu 'kan kalau Bihan belum mau menikah?"

"Mungkin kamu memang belum mau menikah, kalau Bunda nggak mengingat umur Bunda yang makin lama makin menua, Bunda juga nggak akan bawel untuk menyuruh kamu agar cepat-cepat menikah."

Bihan diam, ia melupakan fakta itu. Karena wajah bundanya yang masih terlihat cantik di umurnya yang sudah menginjak setengah abad lebih itu membuat Bihan lupa kalau bundanya ini memang sudah tak lagi muda.

"Bunda mau gendong cucu sebelum Bunda meninggal nanti, Bihan."

"Bun—"

"Nggak perlu sampai gendong cucu pun Bunda nggak masalah, asal Bunda masih sempat untuk melihat kamu menikah, dan masih sempat untuk melihat wajah istri kamu nantinya. Bunda nggak mau berakhir kayak Ayahmu yang pergi lebih dulu sebelum menyaksikan anaknya menikah."

"Bun, Bihan paham."

"Kamu nggak akan pernah bisa paham, Bihan!" sambar Nisa dengan tatapan nanar, membuat Bihan jadi makin merasa bersalah.

Nisa mengatur napasnya, ia terbawa emosi sampai dadanya mulai terasa sesak. Mengingat umurnya yang tak lagi muda membuatnya ingin permohonan terakhirnya sebelum ia meninggal nantinya terkabul. Permohonan semua orang tua, yaitu ingin melihat anaknya menikah.

"Kalau kamu paham sama perasaan Bunda, kamu seharusnya bisa cepat-cepat menikah, karena itu adalah salah satu keinginan Bunda!"

Bihan mengembuskan napas, mulutnya sudah tidak bisa lagi untuk berucap dan membalas ucapan sang bunda. Sekarang, yang bisa Bihan lakukan hanyalah memeluk wanita itu.

"Udah ya, Bun, jangan dipikirin, nanti malah sakit," kata Bihan pelan, ia berusaha untuk menenangkan bundanya.

"Kamu anak Bunda, gimana bisa Bunda nggak mikirin kamu?!"

"Iya, Bunda tenang aja, ya. Bihan paham kok," lirih Bihan sambil mengelus punggung bundanya. Ada sesak ketika melihat bundanya ini menangis, terlebih lagi yang membuat wanita itu menangis adalah dirinya sendiri.

"Kalau kamu paham, mau 'kan kamu menikah?"

Embusan napas terdengar lagi dari mulut Bihan, kali ini terdengar lebih berat dari sebelumnya. Untuk sekarang, ia akan menekan egonya demi wanita yang sudah melahirkan dan merawatnya ini.

WEDLOCK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang