BAB 10

7.7K 556 10
                                    

Please don't be a silent readers.

~

Bihan mengusap wajahnya frustrasi, sedangkan Adsila masih terdiam dengan sesekali mengembuskan napas. Setelah kepulangan orang tua mereka, seperti inilah yang mereka lakukan sekarang.

Sebenarnya Bihan masih tak habis pikir dengan keputusan Adsila yang tiba-tiba menyetujui paket honeymoon itu. Padahal ia sudah berusaha untuk tidak lagi menyusahkan wanita itu dengan menuruti semua kemauan orang tuanya, tapi malah wanita itu sendirilah yang menyusahkan dirinya sendiri.

"Kenapa kamu setuju dengan paket honeymoon itu?" tanya Bihan sambil menatap Adsila tak habis pikir.

Adsila mengembuskan napas lagi, entah untuk yang ke berapa kalinya. "Gimana saya bisa menolak?"

"Saya kan udah mencoba untuk menolak, dan mereka pun memaklumi."

"Tapi ada raut kecewa di wajah mereka."

"Lalu, bagaimana denganmu?"

"Saya nggak tahu, dan saya udah nggak peduli lagi dengan hidup saya yang udah terlanjur di luar kendali saya."

Adsila bangun, ia menatap Bihan sebentar sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Bihan yang masih diam di atas sofa.

Perkataan yang baru saja Adsila ucapkan memang benar adanya. Adsila memang sudah tidak lagi peduli dengan hidupnya, terutama dengan dirinya sendiri. Sekarang, Adsila hanya bisa mengikuti ke mana alur ini akan membawanya menuju akhir, entah akhir yang buruk atau akhir yang bahagia.

Sudah tidak ada lagi harapan baginya untuk terus menolak semua yang sudah terjadi, menolak apa pun yang sudah terjadi bagai berkhayal agar bisa memutar balikkan waktu. Mustahil.

Adsila akan memantapkan hatinya untuk bisa menerima takdir yang sudah terjadi, menerima kenyataan kalau sekarang ia sudah menyandang status sebagai seorang istri dari pria yang tidak ia cintai. Adsila akan mencoba menerima kenyataan pahit ini, kenyataan di mana tiada lagi harapan untuknya mencari pangeran idamannya sendiri.

Menyedihkan memang, tapi inilah jalan satu-satunya yang ia miliki.

°°°°

"Kosongkan jadwalku dalam waktu seminggu penuh."

"HA?!"

Bihan berjingit, ia menatap Fiki dengan malas karena melihat kalau pria itu sudah bertingkah lebay. Bukan Fiki namanya kalau tidak aneh.

Mereka berdua memang memiliki sifat yang bertentangan. Kalau Bihan adalah sosok yang pendiam, maka Fiki adalah sosok yang ceria. Kalau Bihan adalah sosok yang cool, maka Fiki ada sosok yang humoris. Persamaan mereka hanya satu, mereka pandai memakai topeng di depan orang asing. Alias, mereka tidak akan langsung menunjukkan warna mereka pada orang asing, terlebih lagi Fiki.

Fiki, pria itu memang ceria, humoris, serta jahil, tapi itu semua hanya bisa dilihat oleh Bihan. Bahkan, seluruh karyawan BI-soft dan keluarga Fiki pun tidak ada yang tahu tentang sikap di balik topeng pria itu.

Seluruh karyawan BI-soft dan keluarga Fiki hanya mengenal Fiki yang berwibawa, sosok yang cool, pendiam, tegas, tidak seperti Bihan yang dapat melihat sifat dan sikap asli pria itu.

Entah Bihan yang harus bersyukur karena Fiki menganggapnya sebagai sahabat dekat sampai-sampai pria itu menunjukkan sifat aslinya padanya, atau Bihan harus menganggap ini sebagai musibah karena sifat Fiki yang menyebalkan itu terkadang suka membuatnya naik darah.

WEDLOCK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang