Please don't be a silent readers.
~
Bihan mengembuskan napasnya dengan kasar, ada rasa khawatir yang menggerogoti dirinya ketika mengetahui kalau Adsila belum pulang ke apartemen, padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Setelah pertikaian yang terjadi di antara Adsila dan mertuanya yang Bihan tidak tahu penyebab pastinya karena apa, Adsila langsung pergi begitu saja, bahkan wanita itu sampai naik taksi untuk pergi sendiri ke butiknya.
Dan sekarang, tidak ada lagi yang bisa Bihan lakukan selain menelepon wanita itu. Bihan sendiri tidak tahu di mana letak butik milik Adsila, untuk bertanya pada mertuanya pun Bihan takut kalau nanti akan ada pertengkaran lagi di antara ibu dan anak itu.
Bihan mengusap wajahnya kasar, sudah puluhan kali ia menelepon Adsila, tapi tidak ada satu pun yang diangkat dari semua panggilannya.
Ceklek
Suara hendel pintu yang dibuka membuat Bihan langsung menoleh, sedetik kemudian embusan napas lega langsung terdengar dari mulutnya ketika melihat kalau Adsila-lah yang baru saja masuk ke dalam apartemen.
Bihan langsung berdiri dari duduknya, melihat kalau Adsila ingin langsung pergi melewatinya membuat tangannya tergerak untuk menahan pergelangan tangan wanita itu.
Adsila mengembuskan napasnya, ia menatap Bihan. Terlihat jelas dari matanya kalau wanita itu sudah sangat lelah. "Saya capek."
"Kamu nggak lihat sekarang ini jam berapa?" tanya Bihan dengan geraman yang tertahan.
"Saya capek!" sahut Adsila, dua kata yang sama itu ia ucapkan dengan nada frustrasi.
Adsila menepis tangan Bihan yang masih bertengger di pergelangan tangannya, kemudian ia langsung mengambil langkah ingin menuju ke kamar.
Demi apa pun, Adsila sudah lelah. Sudah tidak ada lagi tenaga lebih untuknya kembali berdebat.
"Kamu istri saya, dan saya suami kamu, udah menjadi kewajiban saya untuk menjaga kamu. Suami mana yang bisa membiarkan istrinya pulang larut malam begini?" tanya Bihan, ia tak meninggikan suara, tapi terdengar sangat jelas kalau ia sedang menahan amarahnya.
Adsila yang sudah berada beberapa langkah dari Bihan langsung menghentikan langkahnya, ia mengepalkan tangan dengan mata yang sudah memerah. "Apa saya meminta untuk dijadikan istri Om?"
Adsila tersenyum getir, air mata kembali menggenangi matanya dan jatuh seakan membuat sungai kecil di pipinya. "Om pikir saya mau menjadi istri Om? Kalau bukan karena perjodohan ini, saya nggak mau menikah dengan Om!"
Bihan diam, ada sesak di dadanya. Bihan sendiri juga tidak mau terikat pernikahan dengan wanita yang tidak ia cintai, tidak ada yang menginginkan pernikahan ini terjadi kecuali orang tua mereka.
Adsila berbalik, tepat saat ia menatap Bihan, setetes air bening langsung mengalir lagi dari matanya. "Karena Om, saya jadi berantem sama mama. Mereka terus memikirkan perasaan Om tapi nggak memikirkan perasaan saya. Kalau begini caranya, peran saya di sini sebagai apa?! Kenapa Om terus yang mereka pikirkan, bagaimana dengan perasaan saya?!"
Ucapan itu diakhiri dengan teriakan frustrasi dibarengi dengan isakan yang makin terdengar. Buru-buru Bihan mengambil langkah lebar, lalu mendekap Adsila dengan begitu erat.
Pecah, tangisan Adsila makin pecah ketika ia merasakan pelukan hangat yang membalut tubuhnya. Bahunya bergetar hebat yang menandakan kalau tangisannya makin kencang.
Bihan sendiri memejamkan mata, ia mengusap rambut Adsila dengan lembut. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain memeluk wanita itu. Makin kencang isakan wanita itu, makin sesak pula yang Bihan rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDLOCK [END]
Любовные романыAdsila dan Bihan, dua insan yang terpaksa harus terikat ke dalam ikatan pernikahan. Dua manusia yang harus menekan ego demi menuruti kemauan orang tua masing-masing. Dua jiwa yang harus terjun ke dalam hubungan sakral karena sebuah perjodohan. Tingg...