BAB 09

6.8K 505 11
                                    

Please don't be a silent readers.

~

Adsila mengerjapkan matanya berkali-kali, ia memperhatikan sekeliling, setelah tahu kalau sekarang ia sedang berada di kamar, Adsila perlahan kembali memejamkan matanya. Syukurlah, kepalanya sudah tidak sesakit tadi.

Mendengar suara pintu terbuka dibarengi dengan derap langkah kaki yang mendekat membuat Adsila kembali membuka matanya, ia menoleh, kemudian matanya langsung menangkap Bihan yang sedang berjalan ke arahnya dengan membawa segelas air.

"Mau minum obat?"

Pertanyaan Bihan mampu membuat Adsila termenung sejenak. Perhatian dan raut khawatir yang Adsila tangkap dari wajah pria itu membuat hatinya sedikit menghangat. Entah kenapa kebaikan Bihan baru bisa Adsila lihat pada saat ini.

"Apanya yang dirasa? Butuh obat apa?"

Adsila kembali tertarik pada dunia nyata, ia mengerjap berkali-kali, kemudian buru-buru menggelengkan kepalanya. "Enggak perlu, lagian cuma pusing biasa kok, nanti juga sembuh sendiri."

Bihan meletakkan gelas berisi air tadi di atas nakas. Sedangkan Adsila, ia sedang berusaha untuk mengambil duduk. Setelah Adsila duduk dengan sempurna, ia menatap Bihan yang membuat pria itu jadi ikut menatapnya.

"Kenapa?" tanya Bihan ketika Adsila hanya menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Mama udah datang?" tanya Adsila balik.

Bihan menggelengkan kepala. "Masih di perjalanan."

Adsila mengembuskan napas lega, ia kira dirinya tidur terlalu lama, untung saja mama dan mertuanya belum datang ke sini untuk menemui mereka.

"Bersiaplah, mereka akan segera sampai."

Baru saja Bihan ingin berbalik, tapi pergelangan tangannya langsung ditahan oleh Adsila, membuat Bihan jadi menatap Adsila lagi. "Kenapa?"

Adsila menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia jadi bingung bagaimana harus menyusun kata agar dapat dipahami Bihan dengan mudah. "Eum, Om tahu kenapa waktu itu saya dan mama bertengkar?"

"Kamu bilang karena saya, ‘kan?"

Adsila menggigit bibir bawahnya, entah kenapa ia jadi merasa bersalah karena sudah menyalahkan pria itu, padahal sudah jelas kalau kejadian waktu itu bukanlah kesalahan Bihan.

"Sebenarnya, mama marah karena mama enggak suka kalau saya panggil Om dengan panggilan om."

"Hm, saya juga enggak suka kalau kamu panggil saya dengan panggilan itu," kata Bihan dengan enteng. Lagi-lagi pria itu masih terlihat tenang seolah tak terjadi apa-apa.

Adsila terus mendengkus, ia mengatur napas agar tidak menggunakan emosi saat membicarakan hal ini. Sedangkan Bihan, pria itu masih setia menatap Adsila seolah tahu kalau ada hal lain yang ingin wanita itu sampaikan.

"Sebenarnya saya juga bingung harus panggil Om dengan panggilan apa. Ini kali pertama saya menjalin hubungan dengan orang yang usianya jauh lebih tua dari saya. Ini juga kali pertama saya menikah, jadi saya benar-benar enggak tahu harus panggil Om dengan panggilan apa."

Bihan mengembuskan napas tak habis pikir. "Kamu pikir pernikahan ini bukan yang pertama bagi saya?"

"Loh, emangnya bukan?"

Bihan melotot, benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran Adsila. Jadi, apakah selama ini wanita itu berpikir kalau dirinya adalah seorang duda?

"Sila, kamu wanita pertama ... dan saya harap yang terakhir untuk saya. Jangankan menikah, saya aja belum pernah menjalin hubungan apa pun dengan wanita lain selain kamu."

WEDLOCK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang