Please don't be a silent readers.
~
"Kamu udah siap ‘kan, Han?"
Bihan memperhatikan penampilannya di depan cermin. Baju batik dengan celana panjang formal kini sudah membalut tubuh atletisnya dengan sempurna. Menatap pantulan dirinya yang tak seperti biasa membuatnya jadi merasa canggung sendiri.
"Bihan agak gugup, Bun."
Nisa terkekeh kecil, ia mengelus bahu anaknya dengan pelan. Sepertinya memang anaknya itu benar-benar gugup, buktinya, ada beberapa bulir keringat yang membasahi pelipisnya. "Wajar, kok."
Bihan mengembuskan napas, ia memperhatikan pantulan dirinya lagi di cermin. Melihat betapa formalnya ia kali ini membuat Bihan tak bisa berkata-kata. Bihan jarang sekali berpakaian formal dengan setelan batik seperti ini, pakaian formal yang biasa ia kenakan adalah kemeja yang dilengkapi dengan jas atau terkadang juga dengan tuksedo. Penampilannya kali ini benar-benar terlihat berbeda.
Hari ini adalah hari yang sangat Nisa nantikan, di mana pada hari ini mereka akan datang ke rumah Rudi—calon besannya. Setelah menanti kurang lebih dua pekan lamanya untuk menunggu persetujuan Adsila, akhirnya hari ini pun tiba. Bihan dengan segala persiapan dan keyakinannya akan datang untuk melamar wanita itu.
"Kita berangkat sekarang, gimana?"
Bihan menoleh pada bundanya yang sekarang sudah mengenakan setelan gamis merah muda yang dipadukan dengan khimar senada. Sangat cocok dengan dirinya, membuat wanita itu terlihat seperti wanita yang belum menginjak umur setengah abad.
Dengan seulas senyum, Bihan mengangguk mengiyakan.
°°°°
Sudah lewat dua pekan lebih dari pembicaraan mereka mengenai perjodohan ini, bahkan Adsila sempat mogok bicara dengan orang rumah, tapi alhasil ia tidak berhasil dan memilih untuk mengalah. Bukan tanpa sebab, melainkan karena mamanya sempat jatuh sakit akibat begitu memikirkan tentang perjodohan ini. Padahal, kalau dipikir-pikir, yang seharusnya jatuh sakit adalah Adsila, karena dirinyalah yang menjadi korban dalam situasi ini.
Karena mamanya jatuh sakit, akhirnya Adsila memilih untuk mengalah dan menerima perjodohannya. Alhasil, di sinilah ia sekarang, di depan cermin sambil memperhatikan penampilannya saat ini dengan prihatin.
Adsila memperhatikan wajahnya yang terpoles riasan tipis. Sanggulan kecil dengan helaian rambut yang menjuntai di kanan dan kiri wajahnya membuat penampilannya kali ini terlihat begitu manis. Terlebih dengan polesan lipstik merah muda yang memberikan kesan feminin untuk dirinya.
Jujur saja, kalau bukan demi mamanya, Adsila akan menolak perjodohan ini mentah-mentah. Untung saja setelah mendengar kabar bahagia kalau ia mau menerima perjodohan ini, keadaan mamanya jadi sedikit membaik, bahkan sekarang mamanya sudah kembali sehat seperti sediakala. Kali ini, Adsila membenarkan kalau perasaan bahagia juga sangat berpengaruh bagi kesehatan.
"Wah, wah, wah, cantik banget anak kita, Pa."
Mendengar suara riang itu membuat Adsila menoleh ke asal suara. Dilihat mama dan papanya menghampiri dengan raut gembira nan antusias membuatnya mengembuskan napas.
Adsila senang melihat raut bahagia yang terukir indah di sana, tapi di sisi lain pun ia juga jadi merasa terbebani. Demi apa pun, Adsila tidak mau menerima lamaran dan perjodohan ini, tapi ia juga lebih tidak mau lagi kalau sampai harus kehilangan raut bahagia orang tuanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
WEDLOCK [END]
RomanceAdsila dan Bihan, dua insan yang terpaksa harus terikat ke dalam ikatan pernikahan. Dua manusia yang harus menekan ego demi menuruti kemauan orang tua masing-masing. Dua jiwa yang harus terjun ke dalam hubungan sakral karena sebuah perjodohan. Tingg...