BAB 08

7K 553 2
                                    

Please don't be a silent readers.

~

Sudah satu minggu lamanya mereka lalui setelah hari di mana mereka sempat mengalami perdebatan yang bisa dibilang cukup hebat. Setelah Adsila waktu itu mengatakan agar mereka mengurus hidup masing-masing saja dan Bihan tidak perlu mengurusnya, ternyata pria itu benar-benar melakukannya.

Bihan memang masih menyisihkan sebagian makanan untuk dirinya jika ia memasak, atau jika ia memesan makanan, pasti pria itu juga akan sekalian membelikannya untuk Adsila. Bihan juga masih membangunkannya untuk melaksanakan salat subuh. Dan ia juga sadar kalau di setiap pria itu sudah selesai dengan tilawahnya, Bihan tetap memegang ubun-ubunnya sambil merapalkan doa yang sampai sekarang saja Adsila masih tidak memahami artinya apa.

Memang tidak ada yang berubah dari kebiasaan yang Bihan suka lakukan, yang berbeda hanyalah, pria itu tidak pernah menanyakannya lagi. Mau pulang selarut apa pun Adsila, Bihan sudah tidak menanyakannya lagi, bahkan pria itu masih bisa tertidur di saat ia pulang larut malam.

Ini memang yang Adsila inginkan, bisa merasakan kebebasan tanpa adanya orang yang melarang atau menasihatinya. Tapi anehnya, kenapa di saat semua keinginannya sudah terpenuhi, Adsila malah tidak merasakan kebahagiaan?

Perubahan Bihan sama sekali tidak membuatnya bahagia, rasanya begitu aneh ketika sudah menjadi kebiasaan pria itu menasihatinya, tapi untuk sekarang tidak lagi. Hanya saja, Adsila merasa berbeda, perbedaan yang sama sekali tidak terasa menyenangkan.

Terdengar embusan napas berat yang keluar dari mulutnya, bahkan sekarang kepalanya pening hanya karena memikirkan hal yang tidak penting ini.

"Kamu butuh sesuatu?"

Adsila mendongak, ia tersenyum tipis pada Zahra yang baru saja menanyakannya. "Nggak, kok. Terima kasih."

"Kamu sudah makan siang, Sil?" Zahra kembali bertanya, kali ini disertai dengan raut khawatir karena melihat keadaan Adsila yang terlihat tidak baik-baik saja.

Adsila menggeleng lemah. Astaghfirullah, bahkan ia sampai lupa makan siang saking sibuknya mengalihkan perhatian dari semua masalah yang sedang ia hadapi.

"Astaghfirullah, Sil, ini sudah jam empat sore tahu, kenapa bisa kamu melupakan jam makan siang?!"

"Kamu masih bisa berjalan, 'kan? Bagaimana kalau kita makan di kafe yang tak jauh dari minimarket saja?"

Anggukan beberapa kali pada kepala Adsila menandakan kalau wanita itu setuju dengan ajakan wanita yang kini memakai gamis abu-abu dengan warna khimar yang senada.

Zahra langsung berjalan mendekat pada Adsila, lalu mereka berjalan beriringan menuju kafe yang letaknya tak jauh dari butik. Lebih tepatnya, kafe itu terletak di dekat minimarket yang jaraknya hanya 5 meter dari kediaman butiknya.

Di perjalanan, Zahra terus saja mengomel pada Adsila, karena wanita itu bisa-bisanya melupakan jam makan siang. Sekarang, Zahra sudah persis seperti ibu-ibu yang sedang mengomeli anaknya yang nakal.

Zahra langsung memesan makanan yang biasa mereka pesan ketika mereka sudah memasuki kafe, sedangkan Adsila hanya duduk saja di atas kursi sembari menahan perutnya yang terasa sakit, ditambah lagi kepalanya juga ikut terasa pening.

"Sakit, ya? Masih bisa ditahan nggak sakitnya? Atau mau beli obat dulu? Kalau mau, obatnya apa?"

Adsila tertawa pelan, ia menatap Zahra yang kini malah terlihat seperti anak kecil yang begitu khawatir ketika mengetahui kabar kalau ibunya sedang sakit.

WEDLOCK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang