Please don't be a silent readers.
~
"Jangan nangis terus dong, nanti make up-nya luntur, Sil."
Bukannya berhenti, Adsila malah makin menangis. Seperti sudah tak peduli lagi dengan polesan make up di wajahnya yang berharga jutaan rupiah itu.
Tak terasa, waktu seminggu terasa begitu cepat sekali. Padahal, Adsila merasa kalau baru saja kemarin lamarannya terjadi, tapi sekarang, pernikahannya pun sudah siap untuk dilaksanakan.
"Kamu cuma nikah, Sayang," ucap Linda masih terus menguatkan, walaupun air matanya juga ikut terus mengalir membasahi pipinya.
Adsila menyeka air matanya, entah kenapa setiap ia melihat pantulan dirinya di cermin, air matanya dengan otomatis terus-menerus mengalir tak bisa berhenti. Gaun putih berlengan panjang dengan potongan sabrina di bagian bahu yang merupakan rancangannya sendiri itu sudah melekat di tubuhnya, ditambah lagi dengan sanggulan kecil dan juga make up flawless yang membuatnya makin terlihat menawan.
Gaun yang ia pakai sekarang ini adalah gaun pernikahan impiannya yang sudah ia rancang sendiri beberapa tahun lalu. Adsila masih tak percaya kalau sekarang adalah hari sakralnya, dan ia masih tak menyangka pula kalau ia memakai gaun rancangannya sendiri ini untuk menikah dengan pria yang bukan menjadi pilihannya.
"Papa di mana?" tanya Adsila sambil celangak-celinguk ke belakang tubuh Linda untuk mencari papanya.
"Di bawah, lagi persiapan untuk akad."
Adsila hanya diam, tak menyahut lagi. Perasaannya sudah tak karuan. Ada rasa takut, sedih, marah, semua berkecamuk di kepalanya.
Untuk konsep pernikahannya, mereka semua menuruti permintaan Adsila, yang mana pernikahan ini tidak dirayakan dengan meriah. Hanya sebuah gedung serbaguna di pusat kota yang disewa dan disulap sedemikian rupa dengan dekorasi putih yang dipadukan dengan rose gold menghiasi tiap sisi gedung.
Tidak banyak tamu yang diundang, bahkan Bihan dan Adsila tidak sama sekali mengundang bahkan dari satu temannya saja. Hanya kalangan teman-teman dari orang tua merekalah yang menghadiri acara ini. Bukan tanpa sebab, karena Adsila dan Bihan sudah sepakat untuk merahasiakan pernikahan mereka dari publik, terlebih lagi dari teman-temannya.
"Ma, Sila takut," cicit Adsila sambil menatap mamanya.
Linda tersenyum tipis, tangannya terangkat untuk mengusap wajah yang terpoles make up itu. "Takut apa?"
Adsila kembali diam, saking banyaknya ketakutan yang ia rasakan membuatnya jadi bingung dengan apa yang sebenarnya sedang ia takuti saat ini.
"Sil, ingat kata Mama, ya. Setelah akad nikah diucapkan Bihan, di situ kamu udah jadi tanggung jawab Bihan. Kamu udah jadi istri Bihan dan Bihan udah jadi suami kamu. Jadi, Mama minta sama kamu untuk lakukan kewajiban kamu kepada suami tanpa perlu kamu meminta hak kamu."
"Terus, di mana keadilan buat Sila kalau seandainya Sila nggak minta hak Sila?"
Linda tersenyum. "Bihan baik, dia pasti akan memberikan hak kamu sebagai seorang istri dan menjalankan kewajiban dia sebagai seorang suami. Seandainya Bihan nggak memberikan hak kamu sebagaimana mestinya, maka jangan minta hak kamu ke dia, mintalah itu semua pada Allah."
Adsila diam, masih tak mampu mencerna perkataan mamanya yang begitu berat. Bahkan untuk berpikir lagi saja Adsila sudah tidak bisa, karena sudah banyak hal yang berenang di kepalanya.
Linda kembali memberikan seulas senyum. "Akadnya udah mau dimulai, jadi kamu siapin diri dulu, ya. Mama tunggu di bawah," katanya berpamitan.
Dengan berat, Adsila melepaskan mamanya, membiarkan wanita itu pergi meninggalkannya sendirian di ruangan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDLOCK [END]
RomanceAdsila dan Bihan, dua insan yang terpaksa harus terikat ke dalam ikatan pernikahan. Dua manusia yang harus menekan ego demi menuruti kemauan orang tua masing-masing. Dua jiwa yang harus terjun ke dalam hubungan sakral karena sebuah perjodohan. Tingg...