BAB 03

9.1K 681 26
                                    

Please don't be a silent readers.

~

"Jangan nangis terus dong, nanti makeup kamu luntur, Sil."

Bukannya berhenti, Adsila malah makin menangis. Seperti sudah tak peduli lagi dengan polesan makeup di wajahnya yang berharga jutaan rupiah itu. Jangankan mementingkan makeup, sekarang saja ia tak tahu harus berbuat apa selain menangis.

Tak terasa, waktu satu minggu terasa begitu cepat sekali. Padahal, Adsila merasa kalau baru saja kemarin lamarannya terjadi, tapi sekarang, pernikahannya pun sudah siap untuk dilaksanakan. Semuanya terjadi begitu cepat, seolah semesta tak memberikannya waktu untuk bernapas barang sekejap saja.

Adsila pun baru menyadari kalau uang dapat mempermudah segalanya, termasuk dalam menyelenggarakan pesta pernikahan yang hanya berjarak satu minggu dari acara lamarannya. Semuanya terasa sangat mudah dengan uang. Bahkan, Adsila tidak merasa ada hambatan apa pun dalam mempersiapkan pernikahannya dengan tenggat waktu tujuh hari.

"Pernikahan ini enggak akan seburuk yang ada di pikiran kamu, Sil," ucap Linda berusaha menenangkan anaknya. Terus menguatkan sang anak seakan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja.

Adsila menyeka air matanya, entah kenapa setiap ia melihat pantulan dirinya di cermin, air matanya dengan otomatis terus-menerus mengalir tak bisa berhenti. Gaun putih berlengan panjang dengan potongan sabrina di bagian bahu yang merupakan rancangannya sendiri itu sudah melekat di tubuhnya, ditambah lagi dengan sanggulan kecil dan makeup flawless yang membuatnya makin terlihat menawan.

Gaun yang ia pakai sekarang adalah gaun pernikahan impiannya yang sudah ia rancang sendiri beberapa tahun lalu. Adsila masih tak percaya kalau sekarang adalah hari sakral baginya. Ia masih tak menyangka pula kalau dirinya harus memakai gaun rancangannya sendiri untuk menikah dengan pria yang bukan menjadi pilihannya.

"Papa di mana?" tanya Adsila sambil celangak-celinguk ke belakang tubuh Linda untuk mencari keberadaan papanya.

"Di bawah, lagi persiapan untuk akad."

Adsila hanya diam, tak menyahut lagi. Perasaannya sudah tak karuan. Ada rasa takut, sedih, marah, semua berkecamuk di hatinya. Untuk berpikir jernih saja Adsila sudah tak bisa. Sekarang ia hanya bisa berpasrah mengikuti arus takdir yang akan membawanya pada akhir.

Untuk konsep pernikahannya, mereka semua menuruti permintaan Adsila, yang mana pernikahan ini tidak dirayakan dengan meriah. Hanya sebuah gedung serbaguna di pusat kota yang disewa dan disulap sedemikian rupa dengan dekorasi putih yang dipadukan dengan rose gold menghiasi tiap sisi gedung.

Tidak banyak tamu yang diundang, bahkan Bihan dan Adsila tidak sama sekali mengundang bahkan dari satu temannya saja. Hanya kalangan teman-teman dari orang tua merekalah yang menghadiri acara ini. Bukan tanpa sebab, karena Adsila dan Bihan sudah sepakat untuk merahasiakan pernikahan mereka dari publik, terlebih lagi dari teman-temannya.

"Ma, aku takut," cicit Adsila sambil menatap mamanya. Suaranya terdengar lemah, ia benar-benar lemas menghadapi kenyataan pahit ini.

Linda tersenyum tipis, tangannya terangkat untuk mengusap wajah yang terpoles makeup itu. "Takut apa?"

Adsila kembali diam, saking banyaknya ketakutan yang ia rasakan membuatnya jadi bingung dengan apa yang sebenarnya sedang ia takuti saat ini. Banyak ketakutan yang hinggap di kepalanya. Bayangan-bayangan akan seramnya rintangan dalam pernikahan pun terus mondar-mandir di kepalanya.

WEDLOCK [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang