Chapter 11 : Batas Penghabisan Part 2

2 2 0
                                    

Konsep ruang kerja utama didesain mirip seperti Bridge yang ada di dalam film Sci-fi kapal perang luar angkasa. Di tengah ruangan terdapat satu kursi komando dengan seperangkat komputer canggih disertai layar hologram yang menampilkan segala informasi. Satu meter di depan kursi komando terdapat enam meja operator yang berbaris rapi disertai seperangkat komputer dengan settingan maksimal.

Di bagian terjauh setelahnya adalah tujuh unit RNS-DC type Quanta, yang merupakan bilik para Game Master untuk bekerja. Tujuh unit RNS-DC type Quanta itu berbaris sejajar—rapi dan diselingi sebuah komputer yang digunakan untuk mengolah laporan harian.

Meski ruangan itu terkesan canggih luar biasa, tetap saja di malam saat semuanya tidak bekerja, ruangan itu sama seperti ruang kerja pada umumnya. Sunyi dan kosong melompong.

Malam ini harusnya sepi. Tetapi di dalam gelapnya ruangan, seorang lelaki tengah berdiri di samping salah satu unit RNS-DC. Ia menghadapkan wajahnya kepada wanita yang melontarkan sebuah pertanyaan.

"Harusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Rachel," jawabnya. "Hanya saja, ada kemungkinan player yang bernama Rexhea itu tidak bisa sadar kembali."

Suhu ruangan begitu dingin namun keringat sang wanita tetap jatuh melintasi pipinya. Bukan karena pendingin ruangan yang rusak, melainkan jawaban dari sang Profesor itulah yang menjadi penyebabnya.

Jawaban itu benar – benar menggusarkan benaknya. Bagi Rachel, masalah yang dia hadapi saat ini adalah sesuatu yang di luar ekspektasinya. Mungkin karena ia terlalu meremehkan musuh yang sedang dihadapi.

"Apa ini ulah Rafatar, Prof?" tanyanya lagi.

"Kita tidak tahu. Sebelum laporan dari Millena sampai, aku tidak berani membuat kesimpulan."

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Laporan lengkap atas pemeriksaan server telah tiba di layar monitor virtualnya.

"Terima kasih, Millena," ujar Rachel saat menerimanya.

"Jangan lupa Kopi Luwak Exclusive satu minggu penuh, Senior," balas Millena, suaranya terdengar melintasi ruangan.

"Tentu saja."

Millena tersenyum mendengar sahutan seniornya. Kemudian ia mematikan komputer miliknya lalu merenggangkan badan. Ia mengambil tasnya dan bergegas untuk pulang. Tak lupa ia pamit pada senior dan Profesor sebelum melangkah keluar.

Perhatian Rachel kembali fokus pada layar monitor virtualnya. Ia segera membuka dan membiarkan sang Profesor melihatnya dengan seksama.

Tak lama kemudian, sang Profesor langsung menarik kursi yang ada di sampingnya. Ia menyalakan komputer dan dalam sekejap tampilan dekstopnya telah muncul.

"Kirimkan kedua file-nya kemari," perintahnya.

Rachel segera mengirim file tersebut kepadanya. Seketika itu pula jemari sang Profesor begitu lincah bekerja—memeriksa kedua berkas digital itu dengan ritmenya yang cepat.

Rachel berdiam diri menanti jawaban. Meski panik masih menyerta, ia harus bisa menahan diri.

Sekitar dua puluh detik berlalu, sang Profesor pun tersenyum datar.

"Bukan. Ini bukan ulah Rafatar," jawabnya.

Ada perasaan lega yang menghampiri benak sang wanita. Namun hal itu justru memunculkan pertanyaan yang baru.

"Kalau begitu, mengapa dia bisa terjebak dalam situasi seperti ini, Prof?"

"Hmm ... ada kemungkinan ini adalah ulah dari dalam."

"Dari dalam? Itu tidak mungkin, Prof. Yang mengetahui bahwa LD.Rexhea telah kembali ke dalam Crown of Six hanya saya dan Kepala Cabang seorang."

"LD.Rexhea? Oh, salah satu player yang terbanned karena menamatkan Crown of Six itu, ya?"

CROWN OF SIX : LEGENDARY DISABLERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang