19. Short Conclusion [EPILOGUE]

1.2K 86 107
                                    

[Sebelumnya] "Memangnya... mau tanya apa, Tante?"

"Eumm, ini...." Terlihat Bu Melda mulai gelisah. "Gimana, ya, bilangnya," lanjutnya tidak enak.

Arsya tersenyum melihat Bu Melda yang begitu gelisah. "Ada apa, Tante? Bilang saja, tidak apa-apa," ucapnya lembut.

Bu Melda menatap Arsya ragu-ragu, tetapi penasarannya pun sungguh sudah memuncak, tak dapat lagi ditahan.

"Tante mau tanya masalah Indah...."

"Iya?"

"Waktu nikah sama Arsya, Indah... apa masih gadis?" tanyanya dengan tatapan malu, sungkan sekali menatap wajah Arsya.

Arsya sontak melebarkan mata, mengerjap-ngerjap. Kaget dengan pertanyaan wanita paruh baya di hadapannya. Menurut Arsya, hal itu tabu dan tak selayaknya ditanyakan.

Kalau orang lain, mungkin sudah akan tersinggung sebab pertanyaan Bu Melda sudah kejauhan. Namun, Arsya yang selalu berusaha memahami perasaan orang lain itu tak sampai hati untuk melayangkan protes.

Pertanyaannya sekarang, memang kapan Arsya bisa marah? Sepertinya itu salah satu kekurangan Arsya; tidak bisa marah.

"Maaf, Nak. Tante tau ini gak pantes untuk ditanyakan, tapi Tante benar-benar penasaran Dewa dan Indah dulu sudah sejauh mana... karena mereka pacaran sudah lama. Indah anaknya baik, polos, tapi Dewa... dia anaknya agak bandel," suara Bu Melda begitu sendu.

Sungguh tak punya pilihan lain, tidak tahu harus mencari tahu ke mana dan bagaimana. Yang tahu tentang masalah itu, pastinya hanya Dewa, Indah, dan juga Arsya.

Arsya menunduk sedikit, lalu tersenyum tipis sekali. Masih ragu dan berat untuk menjawab, namun ia harus tetap berbicara.

"Tapi, Tante.. Dewa kan.. sudah meninggal, apa sebaiknya kita gak perlu membicarakan kekurangannya yang dulu-dulu?" Arsya berucap begitu lemah lembut, suaranya pelan dan hati-hati, ia tak menatap wajah Bu Melda, merasa tidak sopan jika harus menatapnya juga, takut dikira sok mengajari orang yang lebih tua.

Namun dari jawaban Arsya, Bu Melda sudah dapat menyimpulkan dan semakin paham.

"Iya, Sya, Tante tau." Lalu, Bu Melda menyentuh tangan Arsya, membuat lelaki itu mengangkat wajah untuk menatap sang lawan bicara. "Jadi... bener, ya?" Si ibu menghalus, tatapan dan ekspresinya pun kian menyendu.

Arsya tidak tega menyaksikannya. "Maaf, Tante...," jawabnya sambil tersenyum paksa, lalu kembali menundukkan pandangan.

Arsya merasa malu, padahal bukan salahnya. Walau bagaimanapun, agaknya Bu Melda berhak tahu tentang kisah anaknya. Karena meskipun bukan anak kandung, Dewa tetaplah anak Bu Melda.

Namun, di satu sisi, Arsya begitu enggan untuk mengatakan. Ia berpikir itu rahasia rumah tangganya dengan Indah. Pada Naya saja, tak pernah ia mengatakan apa pun perihal Indah masih gadis atau sudah tidak. Meski rumah tangga yang ia bina satu bulan ini dengan Indah juga bukan seperti rumah tangga pada umumnya—sebab semuanya serba aneh, terpaksa, dan membuat nelangsa.

Wanita itu menunggu, sambil menatap Arsya yang menjilati bibirnya beberapa kali. Ia paham, Arsya pasti butuh waktu untuk membuka rahasia yang sesensitif ini.

Namun, Arsya tak kunjung bicara, hanya terus diam dan menundukkan pandangan. Sesekali, menatap ke arah lain guna menghindari kontak mata.

Bu Melda pun langsung paham, Arsya memang tidak mau menjawab.

"Maafin Tante. Pertanyaan Tante berlebihan, Arsya gak usah jawab, ya." Bu Melda berucap, menahan-nahan malu pada hatinya.

Arsya tersenyum, tetapi sumbang. Lalu, mengangguk saja.

DEWA-NYA INDAH ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang