16. Indah & Gibran's Sad Stories

537 83 96
                                    

Indah Elena Rahmi, si gadis berkulit putih bersih, yang begitu cantik bagai seorang putri dari negeri dongeng, namun tidak dengan jiwa raganya yang kini hancur tak berharga bagai bangunan tua yang sudah ambruk tak dapat lagi terbenahi.

Sudah hampir 7 hari semenjak sang kekasih jiwa pergi meninggalkan. Dan selama itu pula, Indah berubah jadi pribadi yang berbeda, seperti bukan Indah yang biasa.

Ia diam, diam, dan diam saja. Tidak lagi suka berbicara. Jika kita mengajaknya bicara, hanya nihil yang didapat. Seperti sedang bicara dengan patung cantik tak bernyawa.

Ia tak banyak menangis, hanya sesekali, lebih banyak melamun. Entah belum sadar atau bagaimana, namun gadis itu belum pernah menangis dengan parah.

Indah punya segalanya. Apa pun yang ia inginkan, ayahnya dapat membelikan. Namun masalahnya, tak ada lagi yang Indah inginkan di dunia ini selain Dewa.

Semua dirasa tak berharga, ia kehilangan semangat hidupnya. Tak lagi dia peduli dengan ini dan itu. Tak pusing juga dia dengan hobi-hobinya yang dulu. Bahkan, enggan menemui teman-teman yang ingin berkunjung untuk memberi kalimat-kalimat positif, dukungan, atau semacamnya guna menghibur.

"Suruh pulang aja. Indah gak mau ketemu mereka."

Iya, Indah merasa tak perlu mengunjunginya, tak perlu menghiburnya. Ia hanya ingin Dewa. Cuma itu.

Yang ia bisa hanya melamun, atau menangis tanpa ekspresi, sambil duduk sendiri di halaman belakang rumah yang ditumbuhi banyak tanaman dan pepohonan. Sejak dulu, Indah suka sekali dengan tanaman, sehingga rumahnya selalu dikelilingi oleh tanaman.

Jangan suruh Indah untuk refreshing, mencari hiburan, atau melakukan sesuatu yang kiranya menyenangkan, sebab ia akan menolaknya mentah-mentah.

Sungguh, Indah sudah tidak berminat lagi pada dunia.

Seperti sore ini, ia tengah duduk sendiri di tempat favoritnya dengan ponsel pada telinga. Ia menelepon seseorang yang bahkan sudah tak lagi menggunakan ponsel.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangk-"

Dan... tentu saja, hanya suara robot itu yang terus terdengar. Lantas, Indah menatap ponselnya, membaca nama kontak Dewa dengan tatapan yang lama kelamaan menajam. Tiba-tiba, berteriak kencang dan histeris, meluapkan kekesalan seraya melempar ponsel mahalnya tanpa ampun ke semak-semak di hadapan.

"Kenapa Dewa gak dateng-dateng?!" Ia membentak sendirian, sebab tak ada orang lain dengannya sekarang.

Tapi sesaat kemudian, ia tersenyum. "Mungkin Dewa masih sibuk, terus dia mau kasih surprise ke aku," katanya berbicara sendiri.

Setelah itu, Indah beranjak dari bangku, lantas kembali masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan ponsel yang entah sudah hilang ke mana.

***


W

aktu pun silih berganti, memutar roda hidup yang penuh tekanan parah. Kini, sudah 3 bulan setelah Dewa berpulang. Bukannya membaik, keadaan mental Indah kian menjauhi kata waras. Gadis itu bahkan sudah 4 kali melakukan self-harm diam-diam. Ia tak pernah melakukan hal seekstrim itu sebelumnya.


Indah suka menyakiti diri sendiri sepeninggal Dewa. Mulanya suka mencakar-cakar tangan dan kakinya sampai merah, terkelupas, bahkan sesekali berdarah. Lama kelamaan, muncul dorongan dari dalam diri untuk menginginkan rasa sakit fisik yang lebih kuat.

Benar, Indah semakin kehilangan akal sehat. Emosinya tidak stabil, sering histeris dan menjadi sangat sulit dikendalikan.

Jam kini menunjukkan pukul 4 sore. Indah sedang berdiri sendiri di depan jendela kamarnya, tanpa kata, tanpa suara. Menghirup aroma hujan bercampur debu dari luar kamar.

DEWA-NYA INDAH ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang