AUL#11

1.4K 125 3
                                    

"Pak Eris?"

Eris menengadahkan kepalanya ke atas, Eris sangat terkejut melihat Dea sudah berada di jendela toilet.

"Kamu... kamu ngapain?"

"Bapak... bapak kenapa ada disini? bu-bukannya udah pulang dari tadi, ya?" tanya Dea tanpa menjawab pertanyaan Eris.

"Saya tanya kamu ngapain disitu? kenapa bisa sampai di atas sana?" tanya Eris kembali.

"Anu, itu... pintunya nggak mau dibuka, Pak. Semua orang juga udah pada pulang, jadi saya cari jalan keluar dan cuma jendela ini yang bisa di buka." jelas Dea.

"Kenapa nggak minta tolong sama penjaga kantor ini? teriakkan bisa."

"Saya udah teriak, Pak. Ta-tapi nggak ada yang denger."

Eris menghela nafasnya, ia membuka pintu toilet dan langsung merentangkan tangannya menghadap ke atas.

"Ba-bapak ngapain?" tanya Dea bingung.

"Cepat turun, kalo kamu sampe jatuh bisa bahaya. Sini saya tangkap." ucap Eris masih dengan posisi yang sama.

"Enggak! saya bisa turun sendiri, Pak. Tolong berdiriin kursi itu aja, Pak. Saya turun sendiri."

Eris menurunkan tangannya dengan kaku. Secara tidak langsung, Eris sudah ditolak mentah-mentah oleh Dea. Eris mengangguk dan mendirikan kursi itu dan menyenderkannya ke dinding.

"Ma-maaf, Pak. Apa bapak bisa nunggu saya diluar?" tanya Dea.

"Kenapa? saya mau jaga kamu disini. Nanti kalo kamu jatuh trus kenapa-napa gimana? saya nggak mau di cap sebagai orang yang nggak bertanggung jawab."

"Bu-bukan gitu maksud saya, Pak. Saya lagi pakai rok, jadi kalo bapak disitu bisa..." ucap Dea menggantung sambil melihat roknya.

Eris langsung berdeham mendengar perkataan Dea. Benar juga, jika dia melihat ke atas ia akan melihat sesuatu yang tidak boleh ia lihat, tepatnya belum.

"Oke, oke. Saya akan tunggu di luar, tapi kamu harus hati-hati turunnya. Jangan sampai jatuh." peringat Eris.

Dea mengangguk dan setelah itu Eris pun menunggu Dea di luar toilet. Dea menghela nafas kasar, kenapa disaat begini malah atasannya yang melihatnya seperti ini. Bisa-bisa reputasi baik yang dibangun Dea selama ini akan runtuh hanya karena ia memanjat jendela untuk keluar dari toilet.

Dea tidak menyangka Eris masih berada di kantornya, apa ia juga tengah lembur? sudahlah, untuk apa Dea memikirkan itu. Yang terpenting sekarang dia bisa keluar dari sini dan pulang ke rumah menemui buah hati tercintanya.

Dengan perlahan Dea kembali menurunkan kedua kakinya. Setelah menggantung ia melihat kursi yang tepat di bawah kakinya sedikit agak jauh dari jangkauannya.

Saat siap-siap ingin melepaskan pegangan tangannya, tiba-tiba ada yang melingkarkan tangan di perut Dea. dea pun kembali menoleh dan ternyata Eris sudah berdiri di kursi sambil merangkul perutnya.

"Saya kahawatir kamu jatuh, saya bantuin buat turun." ucap Eris dengan tenang.

Seketika kejadian masa lalu terlintas di dalam pikirannya, Dea memberontak sejadi-jadinya membuat kursi oleng dan Eris terjatuh ke lantai bersama dengan Dea.

Dea langsung berdiri dan berlari meninggalkan Eris. Tubuh Dea gemetar, bayangan itu tidak bisa hilang dari ingatannya. Air mata yang terus mengalir membuat pandangan Dea sedikit buram, ia terus berjalan keluar dari kantor.

Eris yang melihat keadaan Dea langsung mengejarnya keluar kantor. Ia masuk ke dalam mobil dan mengejar Dea dengan rasa khawatir. Eris melihat Dea tengah duduk sambil memeluk dirinya sendiri dengan erat.

Apa segitu membekasnya trauma masa lalu di ingatan Dea? sampai-sampai ia menangis menggigil seperti itu. Eris yang melihat keadaan Dea yang terpuruk itu ingin sekali mendekapnya dalam pelukannya, memberikan kenyamanan dan kehangatan. Tapi, Eris tidak bisa melakukannya.

Eris turun dari mobil dan berjalan mendekati Dea dengan perlahan. Ia memperhatikan Dea yang terus saja menangis, Eris pun berjongkok di hadapannya. Saat menyadari Eris berada di hadapannya, Dea langsung terkejut dan sedikit menjauhkan dirinya dari Eris dengan tubuh yang masih bergetar.

Eris sedikit memundurkan tubuhnya dan menatap Dea lekat.

"Maaf, saya nggak bermaksud buat kamu ingat masa lalu. Saya cuma ingin menolong kamu, maaf kan saya sekali lagi."

Dea bergeming. Tidak menjawab perkataan Eris sama sekali membuat Eris bingung harus bagaimana memperlakukan Dea.

"Sebaiknya sekarang kamu pulang, ini udah malam banget. Ayo, saya antar kamu pulang."

Eris menawarkan diri untuk mengantarkan Dea pulang, namun di jawab dengan gelengan lemah oleh Dea. Eris menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tidak mungkin ia meninggalkan Dea seorang diri di jalanan seperti ini.

"Oke, oke. Saya janji, saya nggak akan nyentuh kamu lagi. Saya antarkan kamu pulang sampai selamat, saya nggak akan macam-macam."

Lagi-lagi Dea hanya diam tidak menanggapi perkataan Eris. Eris bingung harus membujuknya seperti apalagi. Ia pun berdiri dan duduk dengan jarak 1 meter dari Dea. Keduanya saling diam untuk beberapa saat, Dea menolehkan kepalanya melihat Eris yang duduk sambil bermain ponsel.

Dea menyeka air matanya, "Bapak ngapain disini? kenapa nggak pulang aja?" tanya Dea parau.

Dalam hati Eris tersenyum, akhirnya Dea mau berbicara dengannya. Ia memasukkan ponsel ke dalam kantong celananya kemudian mengalihkan pandangannya pada Dea.

"Saya mau nemenin kamu disini." jawab Eris santai.

"Lebih baik bapak pulang, kasihan Vano sama Vino di rumah nggak ada yang nemenin."

"Ada Vina kok. Saya disini sampai pagi juga nggak masalah, saya nggak bisa ninggalin seorang gadis di jalanan yang sepi kayak gini apalagi udah tengah malam. Kata orang nggak gentelman."

Dea tidak menjawab, kembali terjadi keheningan. Dea menyeka kembali air mata yang berada di pipinya. Memang benar, selama ini Dea mengenal Eris dengan watak yang sangat baik, perduli dengan karyawannya. Eris tidak memiliki sifat bajingan seperti laki-laki yang di kenalnya dulu.

Dengan ragu, Dea menganggukkan kepalanya. Mungkin dengan Eris ia bisa sedikit memberi kepercayaan, mengingat apa yang sudah ia lalui dengan Eris selama ini. Eris sudah lumayan banyak membantunya, seharusnya Dea tau sebaik apa sosok yang berada di hadapannya ini.

"Baiklah, ayo, pulang. Bapak boleh nganterin saya pulang, bawahan juga nggak boleh menolak permintaan atasannya."

Dea tidak mungkin membiarkan seorang Eris Prasaja Adyastha tidur di halte bus seperti ini. Ia harus melawan trauma ini demi atasannya, tidak layak rasanya seorang bos besar menemani bawahannya terlebih itu di pinggir jalan seperti ini.

Eris tersenyum lega, kalau saja Dea masih tidak mau menurutinya, Eris tidak tahu lagi harus membujuk Dea seperti apa. Mungkin saja ia akan benar-benar bermalam di halte bus ini.

Eris berdiri dan berjalan mendekati mobilnya. Ia membukakan pintu bagian belakang mobilnya.

"Ayo, saya antar kamu pulang."

Dea pun mengangguk dan berjalan mendekati Eris. "Saya duduk di depan aja, Pak. Nggak sopan kalo duduk di belakang, bapak bukan supir."

Eris tertawa mendengar perkataan Dea. "Bapak kenapa ketawa? apa perkataan saya lucu?"

"Enggak. Saya cuma pengen ketawa aja, yasudah kamu duduk di depan."

Eris membukakan pintu mobilnya, setelah Dea masuk ia menutupnya kembali dan berlari pelan menuju pintu kemudi. Eris menghidupkan mesin mobilnya kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Sekeras apapun hati Dea membatu untuk laki-laki, Eris akan mencoba dengan perlahan mengikis batu itu agar menjadi cair dan mau menerima Eris di kehidupan Dea.

****

Haii epribadiii.. Aku kembali lagi nih. Maaf yaa lama, kemaren keluargaku lagi kemalangan jadi nggak sempet nulis.. Semoga suka yaa. 😉😉

21 Maret 2021

Ayah untuk LisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang