AUL#20

1.1K 103 6
                                    

"Gimana kalau kita adopsi anak?"

Pertanyaan yang terlontar dari bibir Fajar membuat Dina terdiam, apa mungkin suaminya ini sudah menyerah untuk mendapatkan anak darinya?

Melihat raut Dina yang berubah, Fajar langsung merangkul Dina ke dalam dekapannya.

"Mas nggak bermaksud menyerah untuk kita berdua, mas cuma ingin kita lebih cepat dapat keturunan, supaya mama nggak selalu menyudutkan kamu. Katanya kalo kita adopsi anak, nanti bisa jadi pemicu untuk kehamilan kamu."

Dina melepaskan dirinya dari pelukan Fajar dan menatap Fajar, ia melihat begitu banyak kekhawatiran yang berada di mata suaminya itu. Dina tahu, Fajar sangat mencintai dirinya, apapun yang Fajar lakukan selalu demi kebaikan dirinya sendiri.

Sebaiknya Dina memang harus menerima saran dari Fajar, mengadopsi anak adalah jalan terbaik untuk mereka berdua.

"Ayo kita coba, siapa tahu dengan memiliki anak adopsi suatu saat nanti kita juga bisa punya anak sendiri, Mas."

Fajar mengangguk dan tersenyum tipis, ia kembali merangkul istrinya dengan perasaan yang sangat kacau. Fajar harus berbohong lagi pada Dina, Fajar tidak tahu apakah ini jalan terbaik atau jalan yang akan membawanya pada kebuntuan.

"Maafin Mas, Dina."

*****
Setelah mengantarkan Lisa ke sekolah, Dea langsung meluncur ke kantornya dengan menaiki bus yang biasa di tumpanginya.

Setelah sampai di kantor, ia langsung duduk di kursi kebesarannya. Tempat dimana ia selama ini mencari nafkah untuk dirinya dan buah hatinya.

Tidak lama, Vina datang dan duduk di kursinya.

"Widih, seger amat wajah mama muda kita nih."

Dea menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa, sih, Vin. Aku masih tetep biasa aja kok."

Vina bersiul kecil, ia menggoda Dea agar ia melihat senyum cantik sahabatnya itu.

"Gue yakin pasti ada kejadian ajaib kemarin, lo nggak mau cerita sama gue?"

"Nggak ada kejadian apa-apa, aku cuma ngantar anak-anak main ke trampolin sama Ma- pak Eris."

Dea langsung meralat perkataannya, hampir saja ia keceplosan memanggil Eris di kantor dengan sebutan Mas.

Vina menyipitkan matanya penuh selidik, ia tersenyum penuh arti.

"Mmmmm. Mas Eris maksud lo? lo udah manggil abang gue pakek Mas juga." Vina mengangguk-angguk balam tanda mengerti apa yang sudah terjadi.

"Syukurlah, akhirnya lo mau terima Mas gue, kalau sampai di tolak lagi gue rasa dia bakalan frustasi gimana caranya dapetin hati lo." ucap Vina tanpa menunggu jawaban Dea.

Dea menatap layar monitor, ia teringat apa yang ia ucapkan pada Eris saat berada di tempat bermain kemarin. Ia benar-benar sudah mengambil keputusan besar, Dea tahu keputusan yang di ambilnya ini adalah yang terbaik. Dea tidak boleh mundur lagi dan harus mulai membuka hatinya untuk Eris agar suatu saat nanti tidak ada kekecewaan ataupun penyesalan dari kedua belah pihak.

"Oh, iya. Pak Eris tumben belum dateng? Biasanya jam segini udah ada di kantor." tanya Dea.

"Tadi sebelum gue ke kantor, gue mampir dulu ke rumah Mas Eris buat ngantar ponakan ke sekeloh, ternyata Vano sama Vino lagi sakit, jadi hari ini Mas Eris nggak ke kantor. Katanya mau urus anak-anak dulu, dia nggak ada bilang sama lo?" Dea menggeleng. "Ya ampun, kebiasaan deh. Mas Eris kalo ada anak-anaknya yang sakit emang gitu, nggak bakalan ingat selain kesembuhan untuk anak-anaknya."

"Vano sama Vino sakitnya barengan?"

"Iya, mereka kalo sakit satu pasti yang satunya juga ikutan sakit. Kalo keduanya dah sakit, Mas Eris pasti kerepotan ngurusin mereka, soalnya mereka kalo sakit manja banget."

Ayah untuk LisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang