08

959 333 63
                                    

Selina menatap kue-kue yang Felix berikan, bisa-bisanya pemuda itu membelikan kue favoritnya, tiramisu. Ia sudah lama tidak banyak makan makanan manis, karena larangan ayahnya, yang takut tubuhnya menjadi gemuk seperti ibunya.

Ia langsung mengambil tiramisu tersebut, kemudian memakannya di meja pantry menggunakan sendok. Senyuman langsung merekah di wajahnya, ketika rasa manis menyapa lidahnya.

Mungkin selain Haechan, ada Felix yang bisa ia percaya saat ini.

°°°

Felix pulang jalan kaki, karena uang bulanannya langsung menipis untuk ongkos taksi dan kue yang tadi ia beli untuk Selina.

Ponselnya berdering, ada panggilan masuk dari ayahnya. Ia langsung menekan ikon telepon berwarna hijau di layar, sebelum menempelkan benda berwarna hitam itu ke telinga kanannnya.

"Papa udah ketemu nih, alamat sekolah yang kamu minta," ayahnya langsung bicara to the point, padahal Felix belum mengatakan apapun.

"Oh iya, Pa, makasih,"

"Buat apa?"

"Buat apa aja,"

"Kamu gak ngikutin jejak Papa kan?"

"Jejak? Jejak apa?"

"Gak usah pura-pura gak tau kamu, hidup yang bener-bener aja, kalau enggak nanti jadi kayak Papa, harus kabur dan ganti identitas, repot,"

"Hah, Papa sendiri yang bilang kan? Asal puas, gak masalah, bahkan kalau nanti dipenjara dan dihukum mati pun, gak papa, yang penting perasaan kita puas," papar Felix, "Kenapa ujung-ujungnya Papa kabur?"

"Karena Papa masih punya kamu. Kamu sekarang masih muda, nikmatin aja hidup kamu kayak anak muda lainnya,"

"Kalau mama masih ada, aku bisa kayak gitu. Aku gak bisa seneng-seneng, karena aku selalu inget mama,"

"Mama pengen kamu bahagia, Lix,"

"Aku punya cara aku sendiri buat bahagia,"

"Ya udah, terserah kamu, yang penting Papa udah kasih tau kamu. Kalau kamu kenapa-napa, susul Papa, kita pergi sama-sama ke mama,"

Felix tersenyum simpul, "Iya."

°°°

Prang!

Haechan hanya terdiam, saat ayahnya melempar asbak ke arahnya.

"Kamu sembunyikan Selina dimana? Jawab Ayah! Jangan diem aja! Kamu bisu, hah? Kamu bisu? Jawab!"

Haechan tetap kukuh menutup mulutnya, meskipun ayahnya sudah mengamuk, sampai menodong-nodongkan ujung rokok yang masih menyala ke wajahnya.

"Yah, tenang dulu dong!" Ibu Haechan berusaha menenangkan suaminya.

"Tenang kamu bilang? Kamu mau semuanya kebongkar, hah? Mau? Kamu denger sendiri tadi pak Evan ngomong apakan?"

"Iya, tapi jangan sampe kayak gini dong ke Haechan, yang ada dia malah makin keras."

Ayah menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya sembari menatap tajam putra pertamanya.

Sementara Haechan malah tampak kesal mendengar ibunya berusaha membelanya.

"Dimana Selina? Papanya nyariin, sampe nelfon Ayah dan ibu terus, dia ngancem bakal bongkar kasus pembunuhan adek kamu tau gak! Cuman gara-gara kamu nyembunyiin Selina!"

Haechan mengernyit, "Kenapa pak Evan ngancem kayak gitu? Kasusnya kan udah selesai, yang ngebunuh udah ketahuan siapa, bahkan udah dihukum. Apa yang mau dibongkar?"

Ayah menggaruk pelipisnya, kemudian menatap istrinya yang langsung bungkam.

"Intinya sekarang, kamu balikin Selina," ucap ayah penuh penekanan.

"Aku gak tau Selina dimana, dia emang sama aku tadi pagi, tapi terus dia ngilang," jawab Haechan.

"Bohong kamu!"

"Ngapain aku bohong? Buat apa aku nyembunyiin Selina dari keluarganya sendiri? Apa lagi keluarganya lagi kena musibah,"

Ayah mengepalkan tangannya, menatap geram Haechan yang balik menatapnya dengan tatapan datar.

Haechan akhirnya memutuskan pergi dari ruang tengah ke kamarnya, ia pura-pura tidak dengar saat ayahnya teriak-teriak memanggilnya.

'Maksudnya dibongkar apa? Gue malah jadi pengen lebih lama nahan Selina, biar pak Evan bongkar apa yang udah ditutupi sama ayah selama ini.' Batin Haechan.

°°°

Felix mengerjakan tugas kuliahnya, di ruangan dimana ia menahan ibu Selina, suara merintih kesakitan serta teriakan minta dilepas, seolah jadi musik di telinganya.

"Kamu ngapain susah-susah kuliah? Kamu kan bakal berakhir di penjara," ibu Selina akhirnya bicara, setelah sebelumnya hanya teriak-teriak.

"Saya mau jadi penjahat yang berpendidikan," jawab Felix, kemudian ia tertawa cukup keras, mendengar perkataannya sendiri.

"Kamu ini sebenernya siapa? Anak ibu Neva?" tanya ibu Selina.

Felix melirik dengan sorot mata dingin.

"Saya kira Tante udah tau," gumam Felix.

"Apa yang kamu lakuin cuman bakal bikin mama kamu sedih,"

Felix melengkungkan bibirnya ke bawah, sembari mengangguk-angguk.

"Apapun yang anda katakan, gak akan mengubah apapun." Ucap Felix dengan pulpen menunjuk ke arah ibu Selina.

Felix kemudian membereskan buku, laptop, serta alat tulisnya, lalu memasukkannya ke dalam tas.

"Saya mau berangkat kuliah dulu, ditunggu oleh-olehnya ya," ujar Felix.

"Kalau kamu bawa anak saya, saya pastikan kamu yang bakal mati! Tiga anak laki-laki ngelawan kamu, kamu gak akan ada apa-apanya!"

Felix terkekeh, "Gimana kalau saya lumpuhin kaki tangan mereka dulu, apa mereka bakal masih bisa ngelakuin sesuatu?"

Ibu Selina seketika bungkam.

Felix pun lekas keluar dari ruangan dingin itu, meninggalkan ibu Selina yang kemudian teriak-teriak tidak terima dengan perkataan Felix.[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Red Cookies | Felix ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang