17

842 278 56
                                    

Raut wajah Selina tampak khawatir, ia terus mondar-mandir di depan pintu, dan berusaha menghubungi Haechan, tapi tidak ada hasil.

Haechan menerima telfon dari Aliah, tapi adik perempuannya itu tidak mengatakan apapun, yang terdengar hanya deru napasnya yang berat dan seperti ketakutan, kemudian Aliah mengirim pesan minta tolong, ada penyusup di rumah. Itu sebabnya Haechan langsung bergegas pulang.

Haechan sudah menyuruh Aliah menghubungi polisi, tapi gadis itu tidak membalas pesannya lagi.

"Kemana sih Haechan? Bikin khawatir. Harus gue samperin gitu, tapi Alex udah tidur."

Selina akhirnya memutuskan untuk menunggu besok, meskipun ia tidak akan bisa tidur tenang malam ini, tapi tidak mungkin meninggalkan Alex sendiri sekarang. Kalau besok anak itu akan sekolah, jadi ia bisa pergi ke rumah Haechan dan mengecek apa yang terjadi.

°°°

Felix sibuk di dapur, ia mondar-mandir membuat sesuatu sambil bersenandung. Di pipinya terlihat ada noda tepung, krim berwarna merah muda, serta 'pewarna' merah. Senyuman tak lepas dari wajahnya, bebannya sudah banyak berkurang, ia hanya tinggal menyelesaikan satu orang.

Ia membuat cookies berwarna merah ciri khasnya, serta cake dua susun dengan warna merah juga, dilapisi lagi dengan krim berwarna merah muda, dengan tambahan hiasan bunga-bunga kecil di seluruh pinggir cake. Jangan lupakan hiasan tambahan yang akan menambah kecantikan kue.

Felix tersenyum sembari menyisir rambut panjang yang terurai di atas meja makan.

"Mereka pasti suka, hehe. Heumm, perlu didandanin sedikit gak, ya? Soalnya pucet banget. Tapi saya gak punya makeup, gimana dong?" Oceh Felix, "Kalau pake bahan rahasia, bisa menyerap gak warnanya di bibir?"

Felix mengambil sebuah botol kaca berisi cairan merah, kemudian menggunakan jari kelingkingnya, ia menutup mulut botol agar cairan merah di dalamnya menempel pada jarinya.

Cairan merah itu pun ia oles di atas bibir yang pucat, serta kedua pipi yang dingin.

"Nah, kalau ginikan, gak pucet lagi."

°°°

Felix mencengkeram erat kerah baju seorang anak laki-laki, ia memukul wajahnya, kemudian mencekik lehernya.

Anak-anak yang melihat heboh dan memanggil-manggil guru untuk mengatasi Felix, tapi tidak semua anak yang ada di sana melakukan itu.

Seorang anak perempuan dengan banyak lebam di wajah, kaki dan lengannya, malah mendekati Felix dengan rasa penasaran.

"Kamu keren," pujinya, membuat sorot mata Felix yang seperti kesetanan menghilang, ia mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang sudah memujinya tadi.

"Saya juga mau lakuin itu ke mama dan papa saya, terutama papa saya, itu bisa dilakuin ke orang dewasa juga kan?" Tutur gadis itu, "Kamu bisa ajarin saya?"

Belum sempat Felix menjawab perkataan gadis itu, namanya sudah diteriaki, para guru terlihat berlari ke arah Felix dengan raut wajah panik.

Felix langsung dibawa ke ruang guru, dan sorenya orang tua serta orang tua anak yang ia pukuli dipanggil.

Saat sedang dibawa, Felix sempat menoleh ke arah gadis itu yang masih berdiri di tempatnya.

'Siapa namanya? Elina kan? Gak sekelas kayaknya.' Batin Felix.

Di dalam ruang guru, ayah dan ibu Felix mendapat cacian dari orang tua anak yang Felix pukuli, meskipun orang tua Felix sudah minta maaf berkali-kali, mereka tetap saja marah.

"Cuman gara-gara anak saya ngambil bolanya, anak saya sampe mau dibunuh! Namanya anak-anak wajarkan ngerebut-ngerebut kayak gitu! Tapi sikap anak anda gak wajar! Kayak psikopat! Jangan-jangan anak kalian emang psikopat, liat tuh mukanya, gak ada rasa bersalah sama sekali!"

"Saya emang gak ngerasa salah tuh," celetuk anak berusia tujuh tahun itu, "Ngerebut-ngerebut itu gak boleh, meskipun dilakuin anak kecil,"

"Berani ya kamu! Kamu pikir ngebunuh itu boleh, hah? Itu lebih gak boleh, gak wajar!"

"Siapa yang mau ngebunuh? Saya kan cuman nyekek dia, kalau akhirnya jadi mati, emang salah saya?"

"Itu bisa bikin mati! Aduh, diajarin dong anaknya!"

Orang tua Felix menatap Felix dengan tatapan yang sulit diartikan, Felix balik menatap mereka dengan tatapan bingung.

"Maaf, Bapak dan Ibu sebelumnya, saya rasa Felix harus dibawa ke psikiater," ujar kepala sekolah.

"Nah! Bener tuh! Bisa aja dia psikopat!"

"Sembarangan anda bicara!" teriak ibu Felix.

"Loh, emang salah? Dia mukul dan nyekek anak saya karena masalah sepele, dan gak ngerasa bersalah sama sekali, gak ngerasa takut sama sekali! Malah nantangin orang tua! Padahal dia nyekek anak saya sampe pingsan! Terima kenyataan kalau anak anda psikopat! Kalau dia anak yang normal, dia harusnya takut udah bikin temennya pingsan! Proses pingsan orang dicekek itu gak biasa, anda tau? Dia seharusnya takut!"

Felix mendengus, padahal hanya bola matanya berubah jadi putih, dan lidahnya sedikit keluar, apa yang menakutkan dari itu? Pikir Felix.

°°°

Setelah mengantarkan Alex sekolah, Selina langsung bergegas ke rumah Haechan untuk mengecek kondisi di sana. Haechan masih tidak bisa dihubungi, membuat perasaannya semakin tidak karuan.

Keluarga Haechan keluarga yang cukup berpengaruh di politik, jadi bahaya bisa kapan saja menyerang keluarga mereka. Seharusnya mereka menggunakan pengawal, pikir Selina.

Karena ia tidak tahu bahaya apa yang akan menyerangnya, Selina pun terpaksa meminjam celana kulit Haechan yang ia gulung karena kepanjangan, serta jaket parasutnya yang sebelumnya sudah pernah ia pinjam. Di kantung jaket parasut, terdapat beberapa pisau yang ia bungkus tisu serta kertas.

Ia bukan gadis yang ahli dalam berkelahi, ia tidak pernah belajar bela diri, ia juga bukan gadis yang punya kekuatan besar. Ia hanya punya tekad dan keberanian yang besar, kecuali saat menghadapi ayahnya.

Karena ayahnya adalah trauma besar baginya, tapi suatu hari ia bertekad akan membunuh ayahnya.[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Red Cookies | Felix ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang