16

845 287 53
                                    

"Ma, kenapa Mama gak galak kayak ibu-ibu lain?" ujar Felix yang sedang memijat kaki ibunya, padahal ibunya tidak minta.

"Emang ibu-ibu lain galak?" tanya ibu, yang Felix balas dengan anggukkan.

"Aku liat di sekolah ada anak yang dibentak-bentak sama ibunya terus, tiap pulang sekolah, aku liat dia lagi dimarahin terus sama ibunya,"

"Siapa namanya?"

"Elina,"

"Heumm, kasian. Mama gak galak tapi bukan berarti gak pernah marahkan?"

"Iya sihh, tapi marahnya Mama beda, gak pernah bentak-bentak,"

Ibu Felix tersenyum, "Anak kecil, sampe remaja, gak boleh dididik dengan kekerasan, dibentak itu termasuk kekerasan. Sekali aja hatinya patah, susah buat disambung lagi, bisa-bisa malah gak bisa disambung lagi sama sekali. Mama takut hati Felix patah, makanya Mama jaga."

Namun sayangnya hati Felix akhirnya dipatahkan, bahkan bukan dipatahkan lagi, tapi dihancurkan sehancur-hancurnya oleh orang-orang dewasa yang tidak bertanggung jawab. Bukan hanya sekedar dengan bentakan, tapi juga cacian, bahkan sampai ada yang main tangan.

°°°

Felix tertawa kecil, sekarang bahkan ia masih remaja, tapi sudah tidak ada lagi bagian hatinya yang tersisa untuk dihancurkan.

Felix duduk di samping seorang wanita tak sadarkan diri yang tergeletak di atas lantai dengan darah bersimbah dari pinggangnya, wajah pemuda itu tidak berekspresi sama sekali. Dibanding yang lainnya, entah kenapa ia jadi lebih membenci wanita ini, ahh, sebenarnya ayah Haechan sama menjijikkannya sih dengan wanita ini.

Hanya karena mau hidup bersama seseorang yang jelas sudah berkeluarga, ia rela membunuh tiga orang sekaligus, calon anak tirinya, istri ayah Haechan, kemudian ibunya. Apa dia bahagia selama ini? Setelah merenggut hidup dan kebahagiaan orang.

"Mau gue panggil lo murahan aja, gak pas anjing. Lo lebih dari murahan," gumam Felix, "Demi kebahagiaan lo sendiri, lo ambil nyawa orang, lo ambil kebahagiaan orang, dan pasti selama ini lo baik-baikin Haechan dan adeknya buat ambil hatinya kan?"

Pisau kemudian mendarat di atas pipi wanita itu, hingga menembus ke pipi lainnya.

"Mama gue... mama gue meninggal cuman biar lo bisa nikah sama bajingan, anjing!" Felix menendang kepala wanita itu dengan amarah yang meledak.

Ia benar-benar ingin membunuh wanita itu saat ini juga.

Felix mengambil pisau yang lebih besar dari dalam tasnya, kemudian melayangkan pisau itu dengan cepat ke arah leher wanita itu hingga kepalanya terpisah dengan tubuhnya.

Bruk!

Sebuah suara menyadarkan Felix dari emosinya, ia menoleh ke arah pintu dan melihat Haechan tengah berlutut di ambang pintu penghubung ruang tamu dan tengah.

°°°

Kaki Haechan menghentak-hentak, Felix semakin kuat menarik ke atas kain yang berada di bawah rahang Haechan.

Tangan Haechan sudah terikat, sehingga ia tidak bisa melakukan perlawanan menggunakan tangannya.

"Gue gak tau apa-apa! Yang salah bokap dan cewek itu kenapa mau lakuin ini juga ke gue, hah?" Teriak Haechan.

"Karena lo selama ini bahagia, disaat gue menderita kehilangan ibu gue!"

"Gue juga kehilangan ibu gue, bangsat! Gue gak pernah bahagia selama ini!"

Kain yang mencekik Haechan, akhirnya sedikit melonggar.

"Mana adek cewek lo?" tanya Felix.

"Ngapain lo cari dia, hah? Dia juga gak tau apa-apa," jawab Haechan.

Felix beranjak berdiri dari posisinya duduknya, ia kemudian menginjak perut Haechan yang terbaring di lantai.

"Tapi dia bahagia kan?"

"Dia bahagia karena gak tau ibu tirinya itu selingkuhan bokap gue! Dan emangnya kenapa? Gak boleh orang bahagia?"

"Enggak! Enggak boleh, gue mau keadilan,"

"Itu bukan keadilan, bangsat! Gue udah curiga sama lo, ada yang gak beres sama lo, dan bener aja, lo emang gak waras!"

"Gue gak waras gara-gara bokap lo, bangsat!"

Tendangan kemudian Felix layangkan pada wajah Haechan.

"Lo gak usah khawatir, lo yang paling terakhir mati, karena lo harus nonton bokap sama adek lo mati dulu," ujar Felix.

"Tolong jangan adek gue, adek gue satu-satunya orang baik di keluarga gue, dia masih empat belas tahun, please, lo jangan sentuh dia. Dia juga kehilangan nyokapnya, nasib kita sama, Lix,"

Felix menatap datar Haechan yang memohon-mohon.

"Enggak, nasib kita gak sama. Gue tiap hari nonton bokap gue bawa cewek ke rumah, dan bunuh mereka waktu hamil, gue dibully karena dianggap anak pembunuh, gue buat minum aja susah, anjing, apa lagi makan. Nasib kita beda, yang sama cuman kehilangan ibu, jadi lo harus rasain apa yang gue rasain. Ngeliat pembunuhan, disiksa, dan gak bisa makan,"

"Hah... lo... lo kasian banget ya..." gumam Haechan dengan napas tersengal karena menahan sakit di tubuhnya, Felix memukulinya dengan brutal, sebelum mengikat tangannya dan mencekiknya dengan kain.

"Lo jadi lebih kasian karena mau orang menderita kayak lo," ucap Haechan.

"Iya, gue emang kasian, yang penting gue seneng dan puas, kenapa, heum? Gue gak peduli tuh sama cemooh lo, yang penting gue lega udah ngelakuin apa yang gue mau, bukannya itu prinsip kebanyakan anak muda zaman sekarang, iyakan? Hahaha."

Felix kemudian tersenyum pada Haechan, yang membuat pemuda itu seketika bergidik.

"Gue kayaknya tau adek lo ngumpet dimana, siapa adek lo? Aliah, ya? Namanya bagus," kata Felix.

"Jangan sentuh adek gue!"

"Tenang aja, gue gak akan tertarik sama anak dibawah umur. Dan lo... tidur dulu ya sebentar." Setelah berkata demikian, Felix menendang kepala dan dagu Haechan, hingga pemuda itu tidak sadarkan diri.

"Aliah! Jangan takut sama Kakak, Kakak temennya kak Haechan kok. Kakak ajarin bikin kue, yuk! Kakak denger kamu suka masak-masakkan? Kakak punya resep kue spesial loh, nama kuenya red cookies." Felix berkata sembari menyeringai lebar dan menaiki tangga menuju lantai dua, di tangannya terdapat palu yang masih berlumur darah.[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Red Cookies | Felix ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang