e n a m

178 64 187
                                    

Di ufuk timur, tampak langit berwarna merah dan oranye keemasan. Pagi yang damai untuk sebagian besar orang di kerajaan, kecuali Ratu Ophelia. Wanita berusia tiga puluh tahun itu termenung di depan jendela besar berbentuk busur di atasnya. Kamarnya gelap, hanya  cahaya remang-remang dari jendela yang menerangi.

Ratu kerajaan Shotenive itu menatap kosong pemandangan di depannya. Ia tidak bisa memikirkan apapun lagi. Rasanya semua menjadi hampa. Samar-samar terlihat lingkaran hitam yang menghiasi matanya. Kulit Ratu Ophelia juga sedikit lebih pucat.

Suara ketukan pintu membuat lamunannya buyar. Ia langsung menoleh.

"Selamat pagi, Yang Mulia Ratu. Apa Anda sudah bangun?" terdengar suara pelayan dari balik pintu.

"Ya. Siapkan air mandi untukku."

"Baik, Yang Mulia."

Ratu Ophelia kembali menatap ke arah luar jendela. Iris coklatnya mengamati seorang wanita berpakaian pelayan yang berjalan menuju pintu istana.

"Itu Poly," gumamnya. "Akhirnya dia kembali ke istana."

Ratu Ophelia duduk di pinggir kasur. Sedikit lega rasanya mengetahui pelayan setianya telah kembali, Poly. Tapi tetap saja, rasa sesak dan beban berat yang dipikulnya seakan membuat dirinya tercekik. Cermin agung yang dia berikan pada Ratu Jesse terus terngiang-ngiang di kepalanya, apalagi kejadian saat orang yang paling dicintainya turut menjadi korban dari benda itu.

Ratu Ophelia menggigit bibir bawahnya. Matanya memanas, namun tetap saja ia menahan agar tak satupun bulir-bulir air mata berhasil turun. Ia mengepal seprai dengan kuat. Rasanya ingin menjerit seperti orang gila saja dalam keadaan seperti ini. Dia tidak bisa masuk ke cermin dan membawa kembali Raja Ralphie. Bisa, tapi jika dirinya terkena kutukan. Tentu saja dia tak mau.

"Jesse. Wanita murahan itu bahkan membawa suamiku dalam kesialan yang menimpanya!" geram Ratu Ophelia. "Seharusnya kubunuh saja dia dengan tanganku sendiri!"

Ratu Ophelia tak sanggup lagi membendung air matanya. Dia langsung menutup wajahnya seraya terisak. Kenapa semuanya menjadi begini? Dia hanya ingin dicintai. Karena tak bisa memiliki keturunan, semudah itukah Raja berpaling darinya? Satu-satunya yang dia miliki untuk bisa mengangkat wajah saat berjalan hanyalah takhta, takhtanya sebagai Ratu. Hanya itu.

"Aku sudah berusaha keras untuk menjadi Ratu, Ralphie. Aku tau pernikahan kita hanyalah pernikahan politik, dan aku tau kau setuju menikah denganku hanya karena wajahku. Tapi tetap saja, aku terluka," ucapnya seraya terisak.

"Kau tak tau penderitaan apa yang kurasakan hingga aku rela mengemis cinta padamu."

Ratu Ophelia menggenggam erat gaun tidur putihnya. "Tidak apa-apa, Ophelia. Tidak apa-apa. Terkadang kau harus menjadi jahat untuk melindungi apa yang kau miliki. Jesse telah merebut semua yang kau punya, dan dia layak menerima akibatnya. Tentang Ralphie ...." Ia mengatur napasnya, "itu hanyalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan. Ya, benar. Aku tidak bersalah. Sama sekali tidak bersalah."

Ia menatap tangannya yang gemetar. "Aku tidak tau kejadiannya akan seperti ini. Maka aku akan bersikap sebagaimana orang yang tidak tau apapun."

"Yang Mulia? Apakah saya boleh masuk?"

Ratu Ophelia terlonjak dan menoleh ke arah pintu. Itu suara Poly. Segera ia menghapus jejak air matanya dan mengatur napas.

"Ya, masuklah Poly."

Pintu putih setinggi dua meter itu terbuka, menampilkan wanita berambut pirang madu yang dicepol. Usiianya tak jauh beda dari Ratu Ophelia, mungkin berbeda satu atau dua tahun saja.

Poly menunduk seraya menekukkan kedua lututnya. Tak lupa kedua tangannya mengangkat gaun pelayan yang ia kenakan. "Hormat saya, Yang Mulia Ratu Ophelia."

Beauty is ....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang