"Kau bilang semua yang hilang ada di sana? Berarti Raja dan Ratu Jesse ...." Levi menggantungkan kalimatnya dan menatap Armour lekat.
Wanita yang rambutnya hampir putih semua itu mengangguk. "Mereka juga ada di sana."
"Kalau begitu kita harus membawa mereka kembali. Seharusnya itu mudah, kan? Kita hanya masuk ke sana dan–"
"Itu tidak mudah," potong Armour yang membuat Sein bungkam seketika.
Wanita berjubah putih dengan elemen berwarna emas di pinggirannya itu menoleh ke arah jendela dengan tatapan menerawang. Ia mengatur napas sejenak sambil menggeleng pelan, lalu kembali menatap Levi dan cucunya secara bergantian. "Ada empat hutan dengan tingkat bahaya yang berbeda. Masing-masing dihuni makhluk ganas dengan level yang berbeda juga. Aku tidak tau di mana Raja dan Ratu Jesse. Hutan itu sangat luas. Sedangkan Eliza baru sampai di gerbang dan kini mendapatkan sambutan hangat."
Levi mengernyit. "Sambutan hangat?"
"Sein. Penuhi janji dan sumpahmu sebagai Navriel untuk kerajaan ini. Kau bisa bawa siapa pun."
Tampak kerutan di dahi Sein. Pemuda berkulit seputih salju itu menatap neneknya ragu. Mereka melakukan kontak mata beberapa detik, setelahnya barulah Sein mengerti. Ia memegang gagang pedangnya erat, lalu menjawab, "Aku akan pergi."
"Ke mana kau akan pergi? Dan apa yang akan kau lakukan?" tanya Levi.
Mendadak pintu dibuka. Atensi ketiganya beralih ke arah pintu. Dua orang pemuda masuk dengan raut wajah serius. Salah satunya mengenakan baju berwarna hitam dengan ornamen emas dan warna merah di beberapa titik yang membentuk gambar elang—lambang Shovoris Kingdom.
"Maaf, kami sudah mendengar perbincangan kalian. Kami juga akan ikut dengan Sein. Panglima Levi, saya mohon anda tetap di sini untuk menjaga keamanan kerajaan. Selama kami pergi, Shotenive hanya memilikimu."
Eliza melirik ke sekeliling, mencoba mencari peluang untuk melarikan diri. Ia berdecak kala menyadari bahwa hal itu tidaklah mungkin. Dua monster hijau itu menatap Eliza lapar, dengan tangan yang sudah mengangkat kayu bergerigi masing-masing. Dua manusia setengah kuda juga sudah menarik busur dengan kuat, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melesatkan anak panah.
Sesekali monster hijau yang entah apa namanya itu menggeram ke arah manusia setengah kuda berkulit legam. Sepertinya tak rela jika harus berbagi buruannya kepada mereka.
Ayo cepat berkelahi. Aku akan sangat senang jika kalian melakukan itu, batin Eliza.
Manusia setengah kuda itu juga tak mau kalah. Dia bahkan sempat mengarahkan anak panahnya ke arah monster hijau itu untuk menggertak. Eliza fokus, menanti-nantikan adegan gelut mereka agar bisa melarikan diri.
"Good. Aku tidak pernah diperebutkan seperti ini di duniaku, dan sekarang malah jadi rebutan makhluk dan monster aneh. Sorry, but seleraku tinggi. Bahkan tampang Sein saja dibawah standar. Sekelas kalian, mungkin?"
Tepat setelah Eliza mengatakan itu, keempatnya melepaskan serangan ke arahnya. Eliza yang tidak fokus langsung kualahan. Untung saja dia memiliki refleks tubuh yang bagus. Dua manusia setengah kuda yang berada di sisi kanan-kirinya lebih dulu melepaskan anak panah. Eliza melakukan sikap setengah kayang untuk menghindari benda tajam itu. Alhasil, anak panah yang berbeda arah itu menancap di dada kedua manusia setengah kuda.
Monster hijau yang ada di belakang Eliza mengayunkan senjata miliknya. Tanpa ragu gadis itu berlari ke kanan. Ia mengira manusia setengah kuda itu akan mati setelah tertancap anak panah tepat di bagian jantung. Ternyata dugaannya salah. Makhluk jadi-jadian itu masih hidup.
Tak ada waktu lagi. Eliza langsung menusuk perut si manusia kuda itu dan menendang busur yang dipegangnya untuk berjaga-jaga jika makhluk itu hendak memanahnya. Namun, tusukannya tetap tak berefek. Manusia kuda di sisi lain melepaskan anak panahnya. Dia membidik paha Eliza agar gadis itu tidak bisa berlari. Eliza refleks menghindar, hingga anak panah itu tertancap kuat di dada kuda si manusia kuda di depannya. Membingungkan? Memang, tapi itulah kenyataannya.
Netra Eliza membulat saat manusia kuda itu ambruk. Dia langsung berlari. Terdengar suara remukan tulang di belakangnya. Eliza menoleh ke belakang sekilas. Salah satu monster hijau menumbuk manusia kuda yang masih hidup hingga gepeng layaknya permen karet. Darah kental tertempel di beberapa sisi kayu besar bergerigi itu. Eliza bergidik ngeri, sedangkan monster hijau lainnya mengejar Eliza.
Eliza berlari sambil memikirkan penyebab tumbangnya salah satu manusia kuda tadi. Dia sudah tertancap anak panah di bagian jantung. Terlihat sekarat, tetapi sayangnya tidak mati. Setelah terkena panah di sisi "kuda"-nya, barulah dia mati.
"Apa dia punya dua jantung?"
Suara serak monster hijau yang mengejar Eliza membuyarkan fokusnya. Gadis itu semakin memacu tungkainya untuk bergerak cepat, tak peduli walau daun dan ranting-ranting kecil yang ia lewati menampar wajahnya sedari tadi.
Lagi-lagi akar yang mencuat di tanah menjadi sumber kesialan Eliza. Dia tersungkur dengan tempurung lutut kanan membentur batu berukuran sedang. Gadis itu menggigit bibir untuk menahan rasa nyeri sekaligus perih dari tungkainya.
"Ayo, Eliza! Nyawamu dipertaruhkan!" desisnya seraya berusaha bangkit. Akan tetapi, Eliza terus terjatuh karena lututnya berdenyut hebat. Kalau bisa menangis, mungkin dia akan menangis sekarang.
Monster hijau itu sekarang berada di belakangnya. Eliza berbalik, menatap makhluk hijau itu dengan kaki gemetar karena terus berdenyut. Eliza mengarahkan pedangnya ke arah makhluk berkulit hijau itu dengan tatapan tajam. Sebenarnya dia takut. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak bisa membela diri dengan baik karena gerakannya yang tentu saja terbatas. Melawan dalam kondisi tidak bisa berdiri sungguh mustahil baginya.
Monster itu mengeluarkan suara serak dengan mulut terbuka lebar, seakan menyerukan bahwa kali ini Eliza benar-benar akan menghadapi kematiannya. Dia mengayunkan kayu bergerigi besar ke arah Eliza dengan penuh semangat. Berharap daging Eliza mampu membayar segala lelahnya karena harus berlari ke sana kemari.
Eliza berguling ke kanan, menghindari senjata besar itu. Besarnya sudah seperti batang pohon yang tidak ditebang ratusan tahun dengan gerigi besi yang menghiasi. Monster itu menggeram, lantas melanjutkan aksinya. Dia mengarahkan senjatanya lagi ke arah Eliza. Eliza berguling ke kiri untuk menghindar. Tapi ....
Monster itu menyeringai lebar. Taringnya yang besar dan mencuat keluar membuat kesan mengerikan semakin jelas. Dia tidak benar-benar memukulkan senjatanya pada Eliza. Itu hanya pancingan. Eliza meneguk salivanya dan memegang pedangnya erat. Pedang miliknya tidak akan bisa menandingi kayu besar itu.
Eliza memekik dan menyilangkan tangannya saat benda bergerigi itu sudah berjarak lima belas centi dari wajahnya. Tetapi setelahnya hening. Eliza tidak merasakan apa pun. Dia menyingkirkan tangan, dan melihat sosok pemuda menapakkan kedua kakinya di bahu monster hijau itu. Tangannya memegang erat pedang besar bermata biru yang menancap kuat di kepala si monster.
"S-Sein?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty is ....
FantasyKecantikan melambangkan keindahan dan kemenarikan yang tak terbantahkan. Dia membawa harapan dan keberuntungan bagi yang mendapatkannya. Namun itu tidak berlaku untuk Shotenive Kingdom. Kesalahan akan kecantikan membuat kerajaan ini berada diambang...