l i m a b e l a s

147 53 105
                                    

Sein menatap Eliza datar, lantas mencabut pedang besar bermata birunya dari kepala makhluk hijau itu. Suara menjijikan terdengar bersamaan dengan keluarnya darah kental berwarna hitam. Sein melompat turun sambil berbalik, lalu menebas kepala makhluk besar di hadapannya.

Eliza tertegun. Hanya dengan satu kedipan mata, pemuda yang dijuluki snow mamba itu bisa menghabisi monster berukuran tiga kali lipat lebih besar darinya. Gerakan Sein juga begitu cepat. Dia melompat dan mengayunkan pedang besarnya seolah sedang memegang kapas. Tapi Eliza tahu, pedang seperti itu tidaklah ringan.

Eliza buru-buru berguling ke kanan untuk menghindari tubuh makhluk tadi yang roboh tanpa kepala. Bahkan tanah sampai bergetar saat tubuh monster itu benar-benar jatuh. Eliza melirik tubuh hijau tua di sebelahnya sambil bergidik.

"Kukira kau bisa menghabisinya dengan mudah. Ternyata kau hanya bisa berteriak. Ke mana dirimu yang sok berani itu?" Sein berdecih dan menatap Eliza remeh.

"Diam atau kubuat kepalamu lepas seperti manekin," ketus Eliza yang menancapkan pedangnya ke tanah dan berusaha berdiri.

Sein tertawa, entah apa yang lucu. Eliza yang masih tertatih saat melangkah langsung kesal. Ingat, dia paling tidak suka diremehkan. Gadis itu mengarahkan pedangnya ke arah Sein dengan cepat. Tetapi pedang pemuda itu langsung menahan pergerakan senjatanya.

Senyum di wajah Sein pudar. Ia menatap Eliza tajam dengan iris amethyst-nya. "Jangan berani melukaiku dengan pedang ini lagi. Sedikit saja kulitku tergores, akan kupastikan kau membayarnya."

Eliza menarik ujung bibirnya. "Of course. Aku bisa menggunakan benda lain untuk melukaimu."

Geraman dan anak panah yang melesat ke sana kemari membuat pertikaian Sein dan Eliza terhenti. Keduanya menoleh ke arah utara dan melihat Zavier bersama pemuda berambut hitam lari tunggang-langgang. Raut wajah panik bercampur takut terlihat jelas di wajah keduanya. Di belakang mereka, lima monster hijau dan sepuluh manusia kuda mengejar dengan cepat. Seakan tidak mau kehilangan buruan berharga.

Sein mendengkus. "Ogre dan Centaur itu ada di mana-mana."

"Apa katamu?" Eliza menoleh ke arah Sein. "Ogre dan ... Centaur?"

"Mereka adalah makhluk sihir. Ogre itu makhluk hijau jelek yang mirip denganmu. Centaur itu manusia setengah kuda yang—"

"Mirip denganmu," sambar Eliza yang membalas ejekan Sein. "Kalian sangat mirip. Apa kalian saudara yang terpisah?"

Sein yang ingin membalas ejekan Eliza langsung mengurungkan niatnya saat Zavier berteriak, "Lari! Mereka akan memburu kita! Jumlah mereka lebih banyak!"

Benar apa yang dikatakan Zavier. Rombongan Ogre dan Centaur lain menyusul. Netra Eliza membulat disusul dengan napasnya yang mulai tercekat. Entah apa yang sudah dilakukan dua orang pemuda itu hingga belasan Ogre dan Centaur mengejar mereka. Saat jarak di antara mereka mulai menipis, Eliza dan Sein bersiap untuk lari. Eliza memaksa tungkainya untuk bergerak secepat mungkin.

Tempurung lutut Eliza masih terasa nyeri akibat terbentur batu saat terjatuh. Dengan langkah tertatih, Eliza terus memacu langkahnya. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat jarak dirinya dengan makhluk-makhluk aneh itu. Zavier dan sosok pemuda berambut hitam kini berada di samping Eliza. Dapat kalian bayangkan selambat apa Eliza sampai dua pemuda tadi dapat menyusul langkahnya.

"Kemarikan tanganmu." Pemuda berambut hitam yang ada di sisi kanan Eliza langsung mengalungkan tangan gadis itu ke lehernya. Dia membantu Eliza agar langkah gadis itu tidak melambat.

Eliza meringis kesakitan saat berusaha menyamai langkah pemuda itu yang menurutnya sangat cepat. Eliza benci saat dirinya terlihat lemah seperti ini. Pemuda itu melirik Eliza, lalu berkata, "Apa boleh kugendong?"

Beauty is ....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang