t i g a

262 79 292
                                    

Aroma wafel membuat netra Eliza terbuka. Campuran adonan legit dengan saus manis yang dipanggang sampai lembut itu menimbulkan aroma menggoda yang membuat perutnya keroncongan.

Seperti biasa, Arabella melakukan tugasnya sebagai kakak dengan sangat baik. Dia selalu membuat sarapan yang sukses membuat liur Eliza berjatuhan jika tidak langsung mencicipi apa yang dia masak.

"Hei! Bersihkan dirimu baru sarapan!"

Eliza berdecak kesal saat Arabella menepis tangannya yang hendak menyambar wafel. "Aku lapar! Masa bodoh dengan kebersihan."

"Penampilanmu sudah seperti gelandangan, tau!" Arabella menarik piring berisikan wafel dari meja. "Cuci tangan dan wajahmu! Rambut berantakan, liur menempel di dagu. Ih! Dasar jorok!"

Eliza tetap bergeming. Netranya fokus menatap kue bermotif khas di piring.

"Kalau ada Ibu, mungkin dia akan menyeretmu ke sungai," dumel Arabella.

"Kenapa kau tidak ikut Ibu saja? Aku bebas melakukan apa yang kumau jika kau tidak ada," ujar Eliza sambil memutar bola matanya.

Mereka memang tinggal berdua di rumah berbahan dasar papan yang lumayan besar dan sederhana, tetapi nyaman. Ibu mereka—Emma Gordon—bekerja sebagai pelayan di istana. Ibu pulang seminggu sekali, begitu juga dengan ayah.

Walau ayah mereka panglima kerajaan, mereka masih tinggal di desa. Bedanya, mereka tidak bertani dan berkebun seperti yang dilakukan tetangga-tetangga mereka.

Arabella juga banyak berteman dengan anak-anak bangsawan, karena gadis berambut pirang itu pernah mengikuti kelas tata krama khusus wanita bangsawan. Berbeda dengan Eliza yang tidak memiliki teman. Yang dia punya hanyalah Arabella, saudara sekaligus teman mainnya.

Kalau Arabella pergi untuk mengikuti kelas tata krama, Eliza sendirian. Biasanya ayah yang akan menemani Eliza bermain seharian. Bukan bermain seperti yang dilakukan anak-anak, tapi berlatih pedang. Kata ayah, cacian orang-orang pada Eliza itu setajam pedang. Maka Eliza harus menangkisnya dengan kekuatan pedang juga, agar tak ada yang berani menyakitinya.

"Jika kau tidak mencuci tangan dan wajahmu sekarang, aku akan menghabiskan seluruh wafelnya," ancam Arabella yang sudah menikmati potongan demi potongan wafel, sedangkan Eliza hanya jadi penonton sedari tadi.

Dengan kesal, gadis berambut cokelat itu bangkit dari kursi dan melangkah menuju halaman belakang. Di sana, empat ember besar berbahan dasar kayu sudah dipenuhi air. Sepertinya Arabella pergi ke sungai pagi-pagi sekali untuk mengambil air. Rajin sekali saudarinya itu, berbeda dengannya yang lebih suka tidur. Walau tempat tidurnya hanya berbahan kain berisikan jerami, tapi dia bisa tidur sepanjang hari di sana.

"Semalam kau merasakan sesuatu?" tanya Eliza yang secepat kilat menyambar wafel. Wajahnya bahkan belum dikeringkan, air masih menetes-netes dari dagunya.

Arabella menghela napas pasrah. Seiring bertambahnya usia, Eliza semakin menyebalkan. Keras kepala, berantakan, pokoknya membuat dia sakit kepala.

"Aku bertanya padamu. Kau tidak dengar? Kau belum mengorek telinga, ya?"

Sepertinya Eliza memang pantas untuk dihanyutkan ke sungai.

"Memangnya ada apa semalam?" Arabella bertanya balik.

"Semalam itu ... atmosfernya aneh. Seperti ...." Eliza mengernyit, berpikir keras untuk menemukan kalimat yang tepat. "Aku tidak bisa menjelaskan secara detail," ujar Eliza menyerah.

Arabella melengos. "Jangan merusak suasana hatiku pagi-pagi dengan ocehan konyolmu."

"Tapi aku serius! Semalam rasanya aura negatif ada di mana-mana. Suasana hening juga terasa janggal. Kau tidak merasakannya?"

Beauty is ....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang