Entah gadis cantik tadi berubah menjadi makhluk apa. Intinya, dia terlihat seram sekaligus menjijikan. Perlahan Eliza menarik pedangnya, dan memegangnya erat. Napasnya mulai sesak karena gugup.
Tenanglah. Tenanglah, batin Eliza seraya berusaha mengatur napas.
Gadis aneh itu menatap Leerios dan Zavier lapar. Seperti makhluk yang sudah bertahun-tahun tidak makan, dan baru kali ini melihat santapan atau menu makan malam yang amat lezat.
Eliza yang tadinya duduk kini berusaha bangkit. Perlahan ia bergeser dan mulai berdiri. Gadis berambut cokelat itu dapat merasakan jantungnya yang mulai menggila. Debaran di dadanya begitu cepat disertai tangannya yang mendingin.
Oke, Eliza memang jago memojokkan lawan. Tapi, kalau lawannya makhluk seperti ini ... entahlah. Eliza juga tidak mengerti, perasaannya campur aduk. Eliza semakin mengeratkan genggamannya pada pedang saat makhluk itu menunduk dan mendekati Leerios dan Zavier. Dia tampak mengendusi leher mereka, mencium aroma guna menentukan siapa yang harus ia santap lebih dulu.
"Aku akan menikamnya dari belakang," gumam Eliza dengan tatapan penuh keyakinan.
Eliza perlahan mengikis jarak di antara mereka. Semakin dekat, Eliza semakin merinding. Dia bisa merasakan panasnya rambut makhluk itu yang terbuat dari api. Merasa cukup, Eliza menghentikan langkahnya dan mulai mengangkat pedang.
Makhluk itu mendadak menoleh ke belakang saat pedang Eliza hampir menembus tubuh merahnya. Eliza tersentak kaget dan membolakan matanya. Makhluk berupa wanita di hadapannya itu tampak murka, lalu mengeluarkan suara melengking. Dengan cepat, dia menendang dada Eliza hingga gadis itu terhempas dan menubruk pohon. Eliza mengerang kesakitan saat belakangnya berbenturan dengan salah satu pohon besar.
"Apa-apaan kakinya?" Eliza yang menahan rasa nyeri di tubuhnya mengernyit saat melihat kaki wanita itu. Kaki sebelah kanannya adalah kaki kuda, dan kaki kirinya terbuat dari perunggu.
Eliza buru-buru menghindar ke arah kanan saat wanita itu hendak menginjaknya dengan kaki perunggu. Tentu saja kaki itu begitu berat. Jika Eliza terinjak, maka tamatlah sudah. Akan tetapi, Eliza kesulitan jika terus bergerak, beguling ke sana kemari untuk menghindari serangan. Gadis beriris biru safir itu melirik pedangnya yang tergeletak.
"Terlalu jauh untuk kugapai."
Eliza tidak menyerah. Dia terus berusaha menghindar meski badannya terasa remuk. Gadis itu terus menghindari tiap serangan dan bergerak ke arah pedangnya. Merasa bisa diraih, Eliza buru-buru mengambil pedang kesayangannya dan segera berdiri.
Eliza berputar dengan cepat, lalu menebas sayap kelelawar yang ada di punggung musuhnya. Sontak makhluk itu mengeluarkan suara melengking yang begitu nyaring. Api yang menjelma sebagai rambut di kepalanya itu pun semakin berkobar. Eliza melirik Leerios dan Zavier yang masih terlelap. Sontak gadis itu berdecak kesal.
"Mereka itu tidur atau mati? Setidaknya bangun dan bantulah aku!"
Eliza menghindari tendangan maut sang makhluk itu. Dia juga berusaha agar pedangnya tidak berurusan dengan kaki perunggu, takut-takut pedang kebanggaannya itu patah dan memperbanyak jumlah. Eliza berlari ke sisi kiri, lalu menyayat bahu makhluk di sebelahnya. Tentu saja suara melengking itu terdengar lagi.
Terlalu cepat untuk disadari Eliza. Makhluk itu menampar tubuh Eliza dengan salah satu sayap kelelawarnya hingga Eliza kembali terhempas. Eliza kembali mengerang kesakitan saat kepalanya terbentur batu. Dia bisa merasakan sesuatu yang mengalir turun. Gadis itu memegang kepalanya, kemudian menatap telapak tangan kanannya yang kini berwarna merah. Kepalanya berdarah.
"Sialan kau!" Eliza semakin emosi. Dia menancapkan pedangnya di tanah, lalu bangkit berdiri. Gadis berambut cokelat itu ingin sekali menebas sayap kelelawar menjengkelkan yang membuatnya terluka.
Makhluk itu mengeluarkan suara melengking, lalu berlari menuju Eliza. Begitupun sebaliknya. Eliza berputar dan mengayunkan pedangnya dengan lebih lincah. Hingga akhirnya, dia berhasil membuat luka sayat di beberapa bagian tubuh makhluk aneh itu.
Lagi-lagi, serangan makhluk itu mengenai Eliza. Eliza dapat merasakan rusuknya ngilu bukan main, disusul napasnya yang tercekat. Eliza terlempar untuk kesekian kalinya. Makhluk itu menendang dada Eliza dengan kaki perunggunya yang berat. Eliza tidak sanggup menahan rasa sakit itu. Dia merintih sambil memegang dadanya yang sangat nyeri. Bahkan Eliza tidak sadar kalau dia mengeluarkan air mata. Entahlah, mungkin rusuk Eliza retak.
Makhluk tadi mendekati Eliza dan menatapnya nanar, seolah berkata "inilah yang terjadi jika kau mengganggu waktu makan malam ku yang berharga".
Makhluk itu mengendus. Eliza yang terganggu baru menyadari kalau makhluk di depannya itu tengah sibuk mencium bau darah. Eliza menyeret tubuhnya ke belakang dengan tangan sebagai tumpuan. Selagi makhluk itu sibuk mencari asal bau darah, Eliza akan menjauh sebisa mungkin.
Baru saja Eliza senang dan merasa hidupnya akan selamat, wanita itu membuka matanya dan menoleh ke arah Eliza. Dia langsung berlari sambil mengeluarkan suara melengking.
"G-gawat!"
Eliza semakin mempercepat gerakannya untuk menjauh. Tetapi tangannya sudah tak mampu lagi untuk menopang tubuhnya. Dia malah terjatuh. Makhluk itu tampak sangat bersemangat saat mengetahui darah itu berasal dari kepala Eliza.
"Pergi! Pergi kau dasar jelek!" Eliza melempari makhluk itu dengan batu kerikil yang ada di sekitarnya. Tak peduli walau makhluk itu berkali-kali mengeluarkan suara aneh karena terganggu.
"Bagaimana ini? Bagaimana?" Eliza dapat merasakan tubuhnya yang mulai gemetar. Mendadak ia merasa sesuatu mengucur turun dari kepalanya. Eliza mengusap dahi, lalu menatap tangannya. Pendarahan di kepalanya semakin menjadi-jadi.
Bukan hanya makhluk itu, tapi Eliza sendiri bisa mencium bau amis darah yang terus mengucur dari kepalanya. Berkali-kali gadis itu mengusap tetesan darah yang jatuh. Dengan konyolnya, dia berharap luka di kepalanya tertutup saat itu juga.
"Apa kau tuli? Kubilang pergi!" histeris Eliza saat jaraknya dengan makhluk itu tinggal sepuluh senti. Jujur, Eliza sekarang sudah putus asa. Akan tetapi, mati sebelum menemukan kakak dan ibunya adalah sebuah ketidakadilan bagi dirinya.
Makhluk itu mengeluarkan suara melengking. Rambutnya berkobar disertai kepakan sayap kelelawarnya yang begitu kuat. Eliza melirik dua pemuda di sana yang masih tertidur. Sungguh tidak wajar. Apa mungkin mereka terkena sihir? Eliza juga sedang tidak memegang pedangnya. Entah benda itu terjatuh di mana.
"Leerios! Zavier! Bangunlah!" teriak Eliza panik. "Tolong aku!"
"Siapa saja tolong aku!" Tanpa sadar, teriakan Eliza diselingi isak tangis. Hal yang tidak boleh dia lakukan kecuali di hadapan ayah.
Tiba-tiba sebuah pedang menembus perut makhluk itu. Eliza yang tadinya terisak langsung terdiam karena kaget. Serangan itu begitu mendadak. Baru saja mau mengeluarkan suara melengking, kepala makhluk itu langsung terputus. Di situlah Eliza menatap netra ungu seseorang yang berdiri di belakang makhluk tadi. Begitu tubuh tanpa kepala itu tumbang, sosok itu terlihat lebih jelas. Sein Watts.
Netra Eliza dan Sein beradu. Gadis berambut cokelat itu lantas buru-buru menghapus air matanya dan darah yang masih setia mengucur. Eliza tertawa canggung, tidak enak karena Sein sudah melihatnya menangis.
"Kupikir kau sudah mati."
Sein sedikit menarik ujung bibirnya dan membersihkan pedangnya yang berlumuran darah hitam kental dengan bantuan sihir. "Jika aku mati, maka kau akan segera menyusul. Berhubung aku belum mati, maka kau tidak akan mati juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty is ....
FantasyKecantikan melambangkan keindahan dan kemenarikan yang tak terbantahkan. Dia membawa harapan dan keberuntungan bagi yang mendapatkannya. Namun itu tidak berlaku untuk Shotenive Kingdom. Kesalahan akan kecantikan membuat kerajaan ini berada diambang...