Ogre menggeram, berusaha menyusul mereka yang merosot jatuh di bawah sana. Akan tetapi, tubuhnya yang begitu besar membuat hal itu mustahil. Beberapa kali ia memukul lubang itu dengan kayu bergeriginya, berharap senjatanya itu bisa memperbesar ukuran lubang.
Eliza, Zavier, dan Leerios yang berada di bawah sana sudah panik sekaligus cemas. Dalam hati mereka merapal doa agar ogre jelek itu tidak bisa masuk dan pergi meninggalkan mereka. Di bagian dalam lubang tempat mereka terjatuh sudah seperti gua. Bedanya yang ini lebih kecil.
Ogre terus memukuli permukaan lubang, membuat tanah-tanah di atas Eliza dan dua pemuda itu berjatuhan seperti pasir.
"Menyebalkan!" kesal Eliza saat matanya terasa sakit karena kemasukan serpihan tanah. Gadis itu menggosok matanya yang mulai berair.
"Menunduklah," ujar Leerios.
Eliza menuruti apa kata pemuda itu. Pasalnya, sedaritadi Eliza menengadah guna mengawasi ogre di luar sana. Takut-takut jika ukuran lubang berhasil diperbesar dan mereka ditarik paksa keluar layaknya kecoak.
Lima menit telah berlalu, dan Ogre itu masih setia dengan pekerjaannya. Eliza sudah merasa mual karena bagian dalam tanah terus bergetar. Seolah ada gempa bumi yang tak kunjung usai.
"Cukup. Akan kubunuh dia sekarang!" Eliza menarik pedangnya dan berusaha bangkit. Ia mengubah posisinya menjadi tiarap untuk merayap ke luar lubang.
"Tunggu!" Zavier menahan Eliza yang sudah tersulut emosi. "Jangan keluar dan tetaplah di sini. Sepertinya tempat ini cukup aman untuk dijadikan tempat persembunyian."
"Are u stupid? Tempat ini sesak. Kau mau mati kehabisan napas?" Eliza tidak menerima perkataan Zavier begitu saja dan melanjutkan aksinya.
Pemuda berambut pirang itu mengeraskan rahang. Ia kesal karena Eliza tidak mendengarkannya. Zavier menarik kaki Eliza dan menyeretnya turun, tak peduli dengan gadis itu yang sudah menyumpah serapahinya habis-habisan. Bahkan Leerios yang mendengar itu sampai terkejut. Mungkin dia mengira Eliza adalah gadis manis yang feminim, padahal tidak.
"Diam dan dengarkan aku, Eliza! Oh astaga, dari mana sifat keras kepalamu ini?" ucap Zavier frustrasi.
"Dari ayahku. Kenapa? Kau akan memakinya juga?"
"Kau yang suka memaki, bukan aku."
Leerios menghela napas. "Tenanglah, kalian berdua."
Eliza dan Zavier langsung diam dan melengos.
"Apa yang dikatakan Zavier benar. Terlalu berbahaya untuk melawan Ogre yang ada di luar sana. Kita bisa sampai di sini karena Sein. Entah bagaimana kondisi Sein sekarang. Tapi jika kau memaksa ingin keluar, sama saja kau membuat pengorbanan dan usaha Sein sia-sia."
Eliza berdecak dan terpaksa duduk diam. Dua pemuda ini benar-benar tidak membiarkannya bersikap keras kepala. Gadis itu pun kembali memasukkan pedangnya dalam sarung pedang, lalu beralih memijat pelan lututnya untuk mengurangi rasa sakit.
Tak lama setelahnya, Ogre itu pergi. Tidak ada suara apa pun dari arah luar, hanya kesunyian. Zavier masih memikirkan Sein. Bagaimana keadaan pemuda itu? Kesunyian yang tersisa membuatnya semakin khawatir.
Kepergian Ogre itu membuat sedikit cahaya masuk. Kini kondisi di dalam lubang itu tidak seberapa gelap. Rupanya badan Besar ogre tadi yang menghadang cahaya masuk.
Leerios meraba sekitar, lalu mengambil dua batu dan potongan-potongan rumput kering yang ada di sekitarnya. Ia menyusun potongan rumput itu menjadi sebuah tumpukan, lalu membenturkan dua buah batu hingga mengeluarkan percikan api. Tak butuh waktu lama untuk membakar tumpukan api itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty is ....
FantasíaKecantikan melambangkan keindahan dan kemenarikan yang tak terbantahkan. Dia membawa harapan dan keberuntungan bagi yang mendapatkannya. Namun itu tidak berlaku untuk Shotenive Kingdom. Kesalahan akan kecantikan membuat kerajaan ini berada diambang...