04. Kenangan Ketiga

20 10 0
                                    

Andai saja semua benda mati bisa bersuara, tentunya ia akan tahu jika aku selalu memerhatikanmu.
-Yuna Zhafira
.
.
.


Matahari bersinar begitu terang. Memaparkan sinarnya pada beberapa lelaki berseragam basket. Riuh sorakan penonton memenuhi sabtu cerah itu. Pertandingan basket antar SMA sederajat dilaksanakan di SMAN ALPHA. Tidak hanya ada siswa-siswa SMAN ALPHA—yang memenuhi lapangan—tapi juga dari beberapa sekolah yang mengikuti pertandingan tersebut.

Di antara ratusan anak-anak yang terlihat sangat antusias, salah satunya ada Yuna. Gadis itu dengan tegapnya berdiri di antara kerumunan anak-anak. Netra terfokus pada Yuda. Setiap kali laki-laki setinggi 180 cm itu memegang bola, rautnya wajah Yuna berubah seketika. Apalagi jika laki-laki itu berhasil mencetak skor.

Yuna tak hentinya tersenyum dan terpukau dengan kemapuan Yuda mengontrol permainan. Sesekali lelaki itu memermainkan lawan.

“Yudaa... Ayooo...” teriaknya Yuna antusias di antara gadis yang juga terlihat sama.

“Yeeeeeeee!!” Sorakan penonton terdengar begitu nyaring tatkala Yuda dan kawan-kawan berhasil mencetak skor penentu untuk masuk ke babak final. Yuna tersenyum lebar. Netranya selalu tertuju pada Yuda. Meski kadang laki-laki itu hanya duduk di kursi tunggu.

Yuna memegang botol minuman di tangannya. Mata gadis itu gemetar. Ia tidak memiliki keberanian yang untuk mendekati Yuda meski hanya memberikan minuman. Padahal ada banyak gadis yang menunjukkan perhatiannya pada laki-laki yang memang famous itu.

“Yuna,” panggil Caca.

“Eung?”

“Lo gak ke sana?” tanya Caca. Ia tahu jika Yuna juga ingin memberikan minuman itu pada Yuda.

Gadis pemilik bulu mata lentik itu mengedarkan matanya pada Yuda. “Tidak ah! Gue gak seberani cewek-cewek itu.”

Caca yang mengetahui kepribadian Yuna yang memang sangat akward dengan laki-laki mencoba untuk membantu sahabat terkasihnya itu. “Sini aku bantu.”

“Bantu apa?”

“Ya, ke sanalah. Nyamperin Yuda. Toh, cuma ngasih minum doang.”

“Gak ah! Gue gak mau.”

“Bener?” tanya Caca lagi. “Gue bantu lho?!”

“Iya, enggak.”

Yuna tetap menatap Yuda dengan tatapan hangatnya. Gadis itu memilih untuk tidak memberikan minum pada Yuda. Kenapa? Ya, Yuna memiliki banyak alasan di dalam kepalanya. Seorang INFJ memang memiliki pemikiran yang luar biasa. Bahkan hal kecil juga bisa menari lincah di dalam kepalanya.

“Eh yang nomor punggungnya 31 itu siapa?”

“Itu Kak Yuda. Ganteng banget, ‘kan?”

“Wajahnya kecil banget. Selain ganteng dia juga tinggi.”

“Iya ih! Udah punya pacar belum, ya?

“Pastilah! Orang titisan surga gitu mana bisa gak punya pacar?”

“Pacarnya juga pasti cantik banget.”

“Yang kayak kita mah apa. Butiran debu doang buat dia.”

“Hahahaa.”

“Lo dekatin dia gih.”

“Ih, kok gue?”

“Ya, biar bisa ngeliat dengan jelas perbedaan langit dan bumi itu gimana.”

“Hahaaaa.”

Yuna mendengar jelas percakapan sekolompok gadis yang ada di sebelahnya. Tiba-tiba kepalanya kembali sibuk.

Benar apa yang mereka bicarakan, gumam Yuna.

Ia kembali melihat banyaknya gadis cantik yang berada di dekat Yuda. Laki-laki itu pun tak sungkan jika ada gadis-gadis itu yang mengajaknya foto bersama. Yuna mengeratkan genggamannya pada sebotol kopi. Andai saja minuman ini bisa bersuara, ia pasti mengetahui apa yang aku rasa.

To be continued
.
.
.

Je/Jen,
26 Maret 2021

7 Kenangan Terindah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang