20. Sekutu ?

839 130 14
                                    

Chapter ini dan seterusnya dari sudut pandang Norman semua

Ini lanjutan chapter 17

====================

Dua puluh menit telah berlalu dan Ray masih tertidur lelap. Sementara bocah itu beristirahat, Emma menemani Norman, berbicara dan memaksanya untuk makan setidaknya satu telur rebus. 

Ucapan gadis itu benar-benar lucu, tetapi Norman akan berbohong jika dia mengatakan bahwa dia memperhatikan perkataannya untuk mengunjungi kebun binatang dan undangannya untuk membeli pakaian bersamanya, Gilda, Ray, dan Caroline ketika mereka diadopsi.

Tetap saja, dia memastikan untuk tampak mengikuti percakapan gadis itu, walaupun sebagian besar pikirannya fokus memikirkan cara terbaik untuk mencari celah di kesepakatan antara dia dan Ray, serta cara terbaik untuk mendekati Mama.

Dia tidak bisa menerobos masuk ke kamar Isabella dan menuduhnya menyakiti Ray. Dia juga tidak boleh menyebut-nyebut bekas luka temannya itu sama sekali. Dia sangat menyadari ketidaktahuannya dalam hal keterlibatan Mama dengan Ray, tetapi dia juga tidak bisa bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Isabella adalah wanita yang tajam. Dia akan curiga jika dia mengabaikan sahabatnya yang pingsan.

Rumit. Sungguh rumit.

Rintihan memilukan menghentikan obrolan Emma dan mengalihkan perhatian Norman kembali ke bocah lelaki di pangkuannya. Kerutan Ray semakin menegang. Dia tampak menggumamkan kata-kata tertekan di tidurnya, dan menyembunyikan wajahnya di lengan Norman dan menendang selimutnya hingga selimutnya jatuh.

"Sstt, tidak apa-apa!" Bisik Emma, tidak yakin bagaimana harus membantu, tapi mencoba yang terbaik. Dia menyesuaikan selimut untuk menutupi kaki Ray lagi dan dengan canggung ia menepuk pundak bocah itu untuk menenangkannya "Semuanya baik-baik saja! Ini hanya mimpi buruk." Dia memandang Norman. Tatapannya meminta tolong.

Norman mengangguk padanya. Dengan hati-hati ia menyisir rambut anak laki-laki itu. Dia merasakan ketidakberdayaan ketika melihat Ray dengan canggung meraih kemejanya dengan wajah tertekan. "Tidurlah, sayang. Kamu aman di sini, kami akan melindungimu"

"Ya, kita akan menjauhkan semua mimpi burukmu," Emma mengangguk. Kekhawatirannya berubah menjadi tekad yang indah dan lembut.

Ray tetap tegang pada awalnya. Dia mengeluarkan suara-suara kecil yang memilukan, tetapi upaya mereka akhirnya bisa menenangkannya.

Norman terus menyisir rambut anak laki-laki yang sedang tidur itu tanpa jeda sejak saat itu dan suara Emma berubah dari bersemangat- menjadi gumaman lembut dan lambat.

Beberapa detak jam berlalu. Jari-jari Norman mulai lelah.

Emma menghentikan pembicaraannya yang menenangkan, menatap Norman dan mengalihkan pandangannya pada Ray "Aku belum pernah melihatnya seperti itu ..." Dia berkata sambil mengerutkan kening. "Aku tidak suka itu."

Aku juga benci itu, Emma

"Aku juga tidak suka."

"Aku ingin tahu," gumam Emma, "apa yang dia impikan?"

Kunjungan kita ke dunia luar berakhir dengan orang tua angkat yang kasar atau perjalanan menuju kematian bagi kita. Bisa juga dia mempimpikan mata ungu Mama yang jahat, atau temannya yang memegang pisau dengan maksud untuk menyakitinya ... Silakan dipilih, kemungkinannya tidak terbatas.

"Sulit dikatakan," Norman setengah berbohong sambil memutar-mutar ujung poni Ray.

Keheningan mucul sejenak.

"Katakan," kata Emma keras-keras sambil menatapnya dengan tatapan percaya.

Kata-kata Ray terulang di pikiran Norman "Jangan ceritakan ini pada siapa pun"

Sisi oportunistik dirinya tergoda untuk mengabaikan perkataan temannya dan memasukkan Emma dalam permainan kecil mereka. Gadis itu akan menjadi sekutu yang sangat berguna, yang akan membawa banyak keuntungan jika berhasil bersumpah merahasiakannya. Jika Emma sudah berjanji, dia akan melakukan yang terbaik untuk tidak melanggarnya.

Melihat semua keuntungan yang ada, apakah dia harus menjadikan  Emma sekutu mereka ?

Walupun harus menyalahi kepercayaan Ray ?

Dia tidak tahu.


TBC or not ??

Silahkan divote jika ingin dilanjut


Smile (While You Can)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang